Rabu, 31 Juli 2013

# TRAVEL

Hari-5; Sepuluh Hari Mencari Berkah di Kampung Ramadhan


Seperti biasa, seperti hari-hari sebelumnya gonggongan anjing menjadi alarm otomatis setiap sahurnya. Terlihat empat orang anak gadis tetap lelap berbalut kain gendong yang dipinjami karo untuk kami. Pagi itu dingin sekali, rasa-rasanya tidak ingin lepas dari dekapan kain gendong tersebut. Serasa ingin selalu mendekapnya. Tak perduli anjing bergonggong garang sekalipun, namun sahur tetaplah harus dijalankan meski dengan lauk jengkol sekalipun. Jengkol? Benarkah?
Terdengar suara televisi menyala, akhirnya kami berempat pun terbangun tanpa menghiraukan gonggongan anjing yang sebenarnya sudah membuat telinga kami kebal dan terbiasa. Terlihat Mak Kesha tengah menonton tv, ternyata tadi malam ban sepeda motornya bocor hingga tidak memungkinkan dia untuk kembali ke rumah dan mencari tambal ban pada malam hari dan mengharuskan dia untuk menginap mala mini dan sahur bersama kami.
Kami para wanita beranjak ke dapur, mencari bahan makanan yang bisa dimakan selain jengkol. Dana akhirnya? Ternyata Karo masih mengerti kami, hehe. Beliau telah membelikan kami beberapa butir telur untuk kami sahur. Akhirnya telur aku goring dengan ala kadarnya, hanya sekedar di dadar. Yang penting bisa mengisi perut untuk puasa esok hari, yang pasti tidak dengan jengkol. Alhamdulillah.
Usai sahur dengan menu yang Alhamdulillah, kami melanjutkan dengan sholat shubuh berjamaah lalu tidur lagi. Padahal sebenarnya kami pun tau bahwa tidur usai shubuh itu sangat-sangat tidak baik, karena akan mendatangkan penyakit, terutama penyakit stroke. Tapi tapi.. tidur tetaplah tidur, zzzZZzz…
Sekitar pukul delapan pagi, kak Faiz dan kak Jannah berpamitan untuk beranjak ke desa seberang, tepatnya di desa dimana ada tim Zuhri dan Karina di sana (lupa nama desanya). Kemudian masih sama seperti pagi-pagi kemarin, mencuci piring, membersihkan rumah dan mencuci baju. Namun kali ini ada agenda yang berbeda. Hari ini Karo akan panen kunyit. Dan tentunya kami berniat untuk membantu karo, namun hari ini Karo hanya focus pada pemisahan daun kunyit dengan kunyitnya. Jadi tugas kami hanya memisahkan daun-daun knyit yang masih segar dengan yang sudah rusak, karena daun-daun tersebut akan dijual dan dikonsumsi menjadi sayur.
Sayur?? Aku baru mendengar kalau ternyata daun kunyit itu bisa dimakan layaknya daun ubi dan juga daun bayam.tapi sayangnya aku belum sempat mencicipinya, karena daun-daun itu hanya untuk dijual.
Di tengah terik yang membuncah kami berusaha mengumpulkan energy untuk membantu Karo memanen kunyit miliknya. Bayangkan saja, kami berada di teriknya matahari kira-kira pukul 10.00 WIB, teriknya sangat menyengat. Namun kami tetap tersenyum dong yaaa… namanya juga mau saling membantu, tidak ada kata mengeluh, meskipun kaki sudah luar biasa keram jongkok di atas tanah. Namun, hebatnya karo yang sudah tua begitu masih saja tahan berjam-jam di bawah terik matahari dan jongkok berlama-lama, hebat sekali Karo ini, salut.
Matahari menunjukkan waktunya zhuhur, kami berpamitan pada Karo untuk pergi ke masjid demi melaksanakan sholat zhuhur dan mengajarkan Yogi belajar tentang Islam dan sembari mengajarkannya mengaji.
Dan masih seperti kegiatan hari-hari yang lalu, sepulang dari sholat zhuhur dan mengajarkan Yogi belajar tentang Islam, kami kembali ke rumah dan aku memandika si Nunun dan si tampan Hamzah J lalu setelah itu kami tidur siang kembali, wah enak banget ya bisa tidur siang. Padahal kalau di rumah aku gak pernah nih tidur siang, selalu pantengin laptop seharian full. Lalu setelah tidur siang baru deh bantuin Karo lagi, kali ini ngebantuin kegiatan rutinnya Karo nih, ngupas buah pinang, susah-susah gampang sih. Salah-salah tebas, bisa-bisa tangan kita yang lepas tertebas parang, wow.
Biji Pinang
Biasanya sehabis sholat ashar, aku dan tari sudah standye di dapur untuk masak bekal berbuka puasa, namun kali ini kami tidak perlu repot deh. Soalnya ada seorang ibu yang biasa dipanggil Mak Haris, mengajak kami untuk berbuka bersama di masjid. Alhamdulillah ya, makan enak lagi. Karena kebetulan Mak Haris tengah panen ayam, karena Mak Haris punya ternak ayam, jadi kami berbuka dengan menu ayam semur. Yuhuuuyy yummy..bersama anak gadis semata wayangnya bernama Imel, kami berbuka puasa hanya berlima di masjid Al-ikhlas Sukadame. Semoga amal kebaikan Mak Haris dibalas oleh Allah SWT. Aamiin. 
Nah, setelah itu masuklah pada masa yang mendebarkan. Yaitu ceramah di depan banyak orang. Sebenarnya ini bukan kali pertama, soalnya aku juga sudah sering ceramah singkat, meski hanya di dalam forum kecil yang biasa kami sebut mentoring atau liqoq.  Usai melaksanakan sholat maghrib berjamaah dilanjutkan dengan mengajarkan anak-anak mengaji lalu sholat isya berjamaah.
Sebelum aku maju kea rah barisan ikhwan berlagak seperti ustadzah, aku dihadapkan oleh cobaan yang luarabiasa. Mendengarkan gunjingan dari salah satu ibu di barisan makmum ketika itu. Apalah yang harus aku perbuat selain mendengarkannya tanpa harus ikut-ikutan menambahi apa yang tengah ia gunjingkan. Dalam pernyataannya ibu tersebut tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan ibu lain, katanya hanya sekedar agar kami para tamu mengetahui bagaimana keadaan kampung tersebut. Namun kurasa cerita itu sangat berlebihan. Aku dan Tari hanya bisa saling lihat-lihatan lalu saling melempar senyum. Yaaahh, hanya itu yang bisa kami utarakan.
Nah, karena kecil nyali untuk menegur ibu itu langsung, aku memutuskan untuk menyampaikan teguranku lewat ceramahku malam ini. Berbekal hadis yang mengatakan bahwa menggunjing saudara kita sama saja seperti memakan bangkai saudara kita tersebut. Menjijikkan bukan? Aku juga menyinggung bahwa barang siapa yang menutupi aib saudaranya maka di Akhirat kelak Allah akan menutupi aibnya. Dan berbagai contoh yang aku fikir itulah yang sering dilakukan oleh manusia. Bahkan ketika aku selesai ceramah, Tari langsung menyambutku dan berkata “Wuih, ceramahmu kena kali lah Nes, ibu itu langsung masem sama kita. Gak seramah tadi.” Dan lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Dalam penutup ceramahku, aku tak henti menyampaikan maaf jika ada yang tersinggung, karena aku tahu banyak dari ibu-ibu jamaah sholat tarawih yang kena dengan ceramahku. Aku hanya menyampaikan apa yang seharusnya aku sampaikan dalam Islam yang semestinya.
Buka Bersama Mak Haris dan Imel
Namun, seberapa benarpun yang aku sampaikan dalam ceramahku, tetap saja aku merasa tidak tidak enak. Terus-terusan kefikiran, takut banget kalau ibu itu sakit hati sama aku. Tapi dua teman sejawatku ini terus memotivasi aku, bahwa yang aku lakukan itu sudah benar, karena apapun itu memang harus disampaikan walaupun itu pahit. Sholat tarawih pun berlangsung dengan perasaan was-was.

Bersambung...>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar