Minggu, 28 Juli 2013

# TRAVEL

Hari-3; Sepuluh Hari Mencari Berkah di Kampung Ramadhan

Alarm berdering nyaring tepat di samping telingaku, padahal sebenarnya tidak pun menggunakan alarm handphone, suara gonggongan anjing di sebelah rumah sudah cukup menjadi alarm yang pas untuk membangunkan semua rumah satu kampung. Dengan suasana malam yang dingin dikarenakan domisili Sukadame yang berada di atas gunung, kami bangun dengan bulu kuduk yang merindik, selain karena mendengar gonggongan anjing yang saling bersahutan, juga karena angin yang berhembus tanpa toleransi kehangatan sedikitpun.
Hanya kami bertiga yang melaksanakan sahur, Karo tidak ikut karena beliau sudah tidak sanggup untuk berpuasa karena umur yang sudah tua. Kami sengaja bangun sepupuh menit sebelum imsak. Karena sahur yang terlalu cepat bisa menyebabkan kami akan tidur kembali dan bisa saja sholat shubuh jadi terlewat karena ketiduran, itu pun juga sudah menjadi sunah rasul, bahwa memperlama sahur itu lebih baik.
Bekal sahur sudah kami siapkan sejak semalam sore, jadi tinggal dipanasin saja. Juga ditambah lagi ikan nila pemberian tetangga, dua ekor ikan nila yang masih hidup pemeberian Mak Jimmi yang tinggalnya tepat di sebelah kiri rumah karo. Untuk menghindari ikan akan mati dan tidak bisa dimakan karena sudah menjadi bangkai, maka ikan nila tersebut harus segera dipotong. Karena aku dan tari tidak bernyali untuk membunuh ikan tersebut, maka kami menggunakan jasa Dani, sebagai satu-satunya lelaki yang ada bersama kami.
Ikan Nila pemberian Mak Jimmi
Usai sahur, kami melaksanakan sholat shubuh berjamaah di rumah. Karena tidak memungkinkan menempuh masjid yang letaknya lumayan jauh dalam keadaan gulita, dikarenakan keadaan jalan tidak memiliki penerangan, dan pasti semua anjing sepanjang jalan akan menyambut kami dengan suara yang nyaring senyaringnya.
Lalu kami tidur kembali lepas shubuh dan bangun sekitar pukul delapan, setelah bangu banyak pekerjaan yang menanti di depan mata, mulai dari mencuci baju, mencuci piring, hingga menyapu rumah. Sebelum mandi, aku dan tari mencuci piring bekas berbuka semalam dan piring ketika sahur tadi shubuh. Dan Dani menjalankan tugasnya menyapu rumah dan menyapu pekarangan depan rumah. Dan ternyata si Dani itu adalah calon tentara yang belum matang, alias tidak lulus. Mendengar cerita Dani mengapa dia tidak lulus menjadi tentara dan menolak untuk membayar sogokan, aku jadi semakin ragu pada keaslian angkatan di Indonesia ini. Dengan lagakya, Dani cerita bahwa ketika sedang diadakan pemeriksaan kesehatan, dokter menyatakan bahwa Dani terkena Ambeyen (Hahahah) dan Dani pun shock ketika itu, padahal Dani tahu bahwa dia sangat sehat walafiat ketika itu. Lambat laun Dani menyadari bahwa penyakit murahan itu hanya direkayasa agar Dani bersedia membayar uang sogokan untuk pernyataan hasil dinyatakannya sehat. Berhubung dana tidak mencukupi, akhirnya Dani lepas dari keinginannya untuk jadi seperti ayahnya yang juga tentara. Dan akhirnya melanjutkan studynya sebagai mahasiswa hukum di IAIN SU.

Cerita punya cerita, inilah yang menyebabkan si Dani bisa saja mengerjaan pekerjaan wanita, karena toh selama tiga bulan menjalankan tes sebagai tentara, Dani sudah melakukan kegiatan apapun, termasuk menyapu rumah. Bahkan berlari hinga puluhan kilometer sudah dijajahinya (*itu katanyaa :p)

si Dani membersihkan pekarangan rumah

Selepas semua pekerjaan itu, kamu bergegas pergi ke masjid untuk melaksanakn sholat zuhur dan selanjutnya menjalankan program kerja tim safari ramadhan yaitu melaksanakan belajar mengajar dengan anak-anak di desa seputar pelajaran Islam. Dan miris sekali, setelah menunggu beberapa saat, hanya ada satu anak yang bersedia untuk diajarkan. Padahal dalam ceramahnya semalam Dani sudah menyampaikan pada ibu-ibu dan bapak-bapak untuk mengantarkan anak-anaknya selepas zhuhur untuk mengajar tentang pengetahuan Islam.

fece to face dengan murid perdana
Berhubung hanya ada satu anak yang datang, itupun karena rumahnya tepat di belakang masjid. Aku pun mulai mengajarkan seputar rukun Islam. Dan sekali lagi miris sekali, anak seumuran Yogi belum mengetahui apa itu rukun Islam. Di sekolah Yogi hanya mengajarjan dan memprioritaskan mengaji, bukan ilmu-ilmu yang mendidik pola pikir anak untuk mengetahui dan mencintai Islam.
Selepas itu, kami berinisiatif untuk berkeliling desa untuk menjemput para murid untuk mau kami ajarkan. Namun, karena kami tidak mengetahui, rumah mana yang islam dan mana yang non-muslim, kami mengajak Yogi sebagai penunjuk jalan.

Keliling kampung untuk cari murid bersama Yogi
sebagai penunjuk jalan
Bersama si kecil Hamzah, kami berkeliling desa di tengah teriknya matahari, namun begitupun tak megurungkan niat kami untuk terus mengemban dakwah. Karena kami tahu mereka sangat membutuhkan ilmu tentang Islam walaupun sedikit. Setibanya di rumah salah satu warga, kami mendengar pernyataan bahwa para anak-anak di desa pergi membantu orangtuanya ke ladar selepas pulang sekolah, jadi kemungkinan tidak ada waktu untuk belajar. Kalaupun ada, hanya selepas maghrib. Apa boleh buat, itu sudah menjadi keseharian warga di desa tersebut, dan pola kerja seperti itu tak baiknya kami rubah, itu karena mereka juga ingin melangsungkan hidup.
Dan kami pun kembali ke rumah dan akan mulai mengajarkan anak-anak selepas maghrib saja. Setiba di rumah apalagi yang bisa kami kerjakan selain tidur. Toh tidurnya orang puasa saja sudah mendapat pahal, bukan karena disengaja, ya karena untuk hari ini belum ada anak yang ingin kami ajarkan, jadi ya langsung deh rebahkan tubuh di atas ambal, masih mending aku dan tari tidur di atas ambal, kalau Dani tidur di atas karpet, dan lagi-lagi seperti yang aku katakana di atas tadi, Dani sudah terbiasa seperti itu, tidur di dalam air pun dsi Dani pernah (*katanya)
Kemudian, tepat pukul empat sore hari, kami kembali bergegas pergi ke masjid untuk melaksankan sholat ashar berjamaah. Dan masih dengan suasana yang sama, hanya diimami oleh Dani, aku dan tari menjadi makmumnya.
Sebenarnya ada hal yang lebih mirin selain tidak adanya penduduk yang datang ke masjid untuk melakukan sholat berjamaah, di desa ini TIDAK ADA SIGNAL. Terasa seperti benar-benar berada di hutan belantara, padahal di desa tersebut sudah masuk jaringan listrik, dan kebanyakan warga juga sudah memiliki televise, namun mungkin jaringan provider masih belum bersahabat, dan keadaan tidak ada signal ini lebih parah dari gonggongan anjing setiap malam. Bagaimana tidak, mamaku membangunkan aku untuk sahur pada pukul 04.00 WIB tapi smsnya masuk ketika jelang buka puasa, para sekali, bahkan smsnya pun sudah tak lyak lagi dibalas. Bahkan membuat rindu semakin menjadi-jadi pada mamaku.
Sepulang sholat ashar kami mendapat kabar gembira. Karena Mak Nunun membawakan kami beberapa potong ayam, ditambah lagi tempe (makanan langgananku di rumah nih) juga terong yang merupakan makanan favoritnya tari. Jadi intinya kami makan enak, Alhamdulillah. Lalu, si Dani kepingin makan kolak pisang karena melihat banyak pisang di pekaranga rumah warga, maka kami memutuskan untuk memasak kolak pisang, dengan harga Rp 5.000 satu sisir maka kami akan makan kolak piasang, dan ternyata Mak Nunun juga membawa buah labu, akhirnya jadilah kolak pisang + labu, Yummy,

Kolak pisang + labu untuk berbuka puasa ^^

Selepas berbuka lampu padam, dan galau mulai melanda kami, pergi atau tidak ke masjid. Karena kami tahu bahwa warga pati tidak ada yang datang untuk sholat tarawih. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk tetap pergi ke masjid, meski tanpa jamaah sekalipun, karena niat hanyalah untuk beribadah. Dengan hanya tiga makmum pun jadilah. Dan setibanya di masjid ternyata dugaan kami benar. Hanya ada aku, tari, Dani dan mak Nunun. Karena jamaah tidak banyak maka tidak diadakan ceramah, padahal mala mini adalah giliran aku untuk menyampaikan tausyiah. Lalu kami melaksanakan sholat tarawih dengan tiga makmum yang diimami oleh Dani dan dan jugalah yang menjad bilal dalam sholat tarawih.
Sebelum sholat taarawih berarkhir desa dilanda hujan yang deras, hujan tak hentik-hentinya menghujam dengan serangan petir yang menggelegar. Keadaan ini tidak memungkinkan kami untuk kembali ke rumah, hingga akhirnya kami memutuskan untuk neduh di masjid hingga, dan akhirnya ketiduran, ditambah lagi listrik yang padam dan hujan yang sepertinya ganas sekali, kami tidur di atas ambal masjid.
Terdengar hujan mulai mereda dan listrik hidup kembali pada pukul 02.00 WIB, kami memutuskan kembali ke rumah, dan lagi-lagi. Di tengah kesunyian malam dan gulita tanpa pelita, anjing mengaup di setiap hentakan kaki kami, satu anjing menggaum maka semua anjing akan bangun, terlihat betapa kompaknya anjing-anjing tersebut, mereka sangat akur. Kami tidak bernyali untuk melihat ke kanan ataupun kiri, aaaaarrggg menyeramkan sekali. Untungnya masih ada Mak Nunun yang menemani kami, jika tidak kami tidak tahu kami akan jadi apa jika sudah sampai di Medan.
Sesampainya di rumah, kami masih memiliki dua jam tiga puluh menit lagi untuk menyambung tidur, setidaknya sedikit menenangkan mata yang tadinya hanya tidur ayam di dalam masjid. Dua jam cukuplah untuk tidur nyenyak, untungnya bekal sahur sudah kami siapkan.

Bersambung...>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar