Kamis, 04 Juli 2013

# FAMILY

Mimpi Besar untuk Ayah

Oleh: Rezita Agnesia Siregar
Bismillah, setiap kali mengingat impianku atau mundur jauh ke belakang soal cita-cita masa kecilku, aku selalu ingat Ayahku. Pria renta ini terlalu dicintai oleh tuhannya, hingga mengharuskan dia mengidap sakit seumur hidup. Karena aku tahu, dimana ada penyakit, disitulah segala dosa akan berguguran, Allah sayang pada ayahku, Dia tidak ingin ayahku banyak dosa, hingga Dia menitipkan sakit itu di tubuh ayahku, itulah nasihat-nasihat saudaraku kala itu. Ketika itu, aku masih mengenakan pakai putih merah pada masaku, aku selalu ingin ikut kemanapun ayahku pergi, termasuk pergi ke rumah sakit.
Ayah selalu bilang padaku bahwa secepatnya ia akan sembuh, tapi sampai detik ini, sampai aku tak mengenakan seragam sekolah lagi, ayah masih saja mengidap sakit itu, bahkan kulihat semakin parah. Dokter-dokter yang memeriksa ayahku itu sudah berusaha untuk menetralisir penyakit ayahku agar tidak sampai menyebar ke sakit yang lain, agar tidak terjadi komplikasi, nyatanya ketakutan itu malah terjadi.

Aku tidak bisa berbuat banyak ketika itu, aku hanya bisa tertegun memandangi ayahku yang tengah berbincang dengan dokter tentang masalah penyakitnya, aku hanya berdiam, bergumam dalam hati, bahwa aku akan jadi orang pertama yang menyembuhkan ayahku. Mimpi itu, aku berusaha mati-matian untuk mewujudkannya. Aku bermimpi bisa menyembuhkan ayahku dengan tanganku sendiri, tentunya dengan bantuan tuhanku. Hingga aku tanamkan dalam hati bahwa aku harus jadi dokter nantinya, jadi dokter spesialis Diabetes.
Ketika masa putih abu-abu, aku berusaha menguasai pelajaran IPA, apapun itu yang berhubungan dengan IPA, agar aku bisa masuk jurusan IPA ketika duduk di kelas XI. Satu langkah mimpi itu sudah aku wujudkan, meski aku harus meraihnya dengan tangis. Aku duduk di jurusan IPA. Perjalananku masih panjang, aku berharap sakit ayah tidak bertambah parah hingga aku menyandang gelar dokter. Tapi, aku selalu mendengar suara itu, suara pintu kamar yang terbuka saban malam, keluar menuju kamar mandi, sembari menahan batuk-batuk yang menggatal. Ah, bersabarlah ayah, aku akan menyembuhkan kebiasaan buang air kecilmu di tengah malammu itu.
Kurasa tuhan belum berkehendak, kurasa tuhan hanya mengizinkan aku mempelajari IPA sebatas aku dudu di bangku Aliyah. Aku tidak punya daya untuk itu, otakku sudah kupaksa untuk mewujudkan mimpi-mimpi menjadi dokter spesialis diabetes. aku mengurungkan niatku mengambil jurusan dokter ketika pengisian jurusan pada ujian masuk perguruan tinggi, aku takut, aku tidak mampu untuk itu, aku benar-benar gila karena pelajaran IPA, aku tidak menyukainya, bagaimana mungkin aku mendalami hal yang tidak aku senangi, aku hanya ini menjadi dokter spesialis diabetes, bukan ahli IPA. Tapi untuk menuju itu, kenapa harus melumat habis permasalahn tentang IPA.
Kaki renta itu terlihat tak bisa berjalan lihai lagi, ia melemah. Ayah, aku menyerah untuk mimpiku ini, aku akan mencoba alternatif lain. Aku memasukkan jurusan keperawatan pada pilihanku memasuki perguruan tinggi, berharap aku selalu bisa menjaga ayah dalam profesiku sebagai perawat, meski bukan sebagai dokter. Aku terbangun dari tidurku, mimpi-mimpi itu sudah jauh melangkah meninggalkan aku, gadis kecil yang sangat mencintai ayahnya.
Dan, tuhan masih saja punya kehendak lain. Kalimat bahwa aku tidak lulus itu benar-benar membuatku patah semangat. Darahku seperti berhenti mengalir, juga nafasku seperti berhenti terisak. Aku sudah melewati tiga jalur ujian tulis, dan semua tidak berpihak padaku. Ayah, harus jadi apa anakmu ini. Aku mencoba ujian terakhir, ujian lokal masuk institute islam negeri. Kali ini aku pasrah pada kuasa tuhan, juga pada impian-impian kecilku itu, impian untuk menyembuhkan sakit bodoh yang bersarang di tubuh ayahku, aku harus mengarahkan impian itu ke lain jalur, sebagai anak jurusan hukum.
Dokter adalah profesi mulia yang didambakan setiap anak-anak ketika ditanyakan perihal cita-cita. Juga seperti aku, yang dulu sangat menginginkan profesi itu. Bukan untuk beradu gengsi, terlebih hanya untuk menyembuhkan ayahku. Diabetes kering itu sudah menjalar, mengundang radang paru-paru, darah tinggi, kelemahan fungsi kaki, bahkan stroke ringan. Penyakit itu juga mencintai ayahku, seperti halnya tuhanku, ia memberikan cobaan ini, begitu indahnya, indah bila disyukuri.
Tiada lagi pelajaran IPA yang akan aku temui di jurusan hukum ini. Tapi, impian kecil itu tidak akan pupus begitu saja, demi ayah, aku akan terus mengobatinya, merawatnya, meski tanpa gelarku sebagai seorang dokter ataupun sebagai seorang suster. Saban hari, sebelum ayah sarapan pagi, aku harus menyuntiknya dengan obat insulin, masih seperti keinginan sebelumnya, agar sakit itu tidak bertambah parah. Setiap kali melihat wajah ayah, aku ingat mimpi besarku itu, menjadi seorang dokter yang akan selalu mengobati ayah, tanpa kenal lelah. Meskipun tidak terwujud, setidaknya aku masih bisa menjadi “Perawat” bagi ayah. Biarlah dokter-dokter di luar sana yang mengobati ayah, aku tahu, tuhan punya rencana yang indah pada waktunya.

Dan sekarang, mimpi besar itu harus aku tukar dengan impian yang lebih gila lagi, menjadi seorang penulis, dengan kisah-kisah mendunia, untuk ayah dan juga keluargaku. Dan impian ini, tidak boleh meleset lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar