Oleh:
Rezita Agnesia Siregar
Ayah
selalu bilang padaku bahwa secepatnya ia akan sembuh, tapi sampai detik ini,
sampai aku tak mengenakan seragam sekolah lagi, ayah masih saja mengidap sakit
itu, bahkan kulihat semakin parah. Dokter-dokter yang memeriksa ayahku itu
sudah berusaha untuk menetralisir penyakit ayahku agar tidak sampai menyebar ke
sakit yang lain, agar tidak terjadi komplikasi, nyatanya ketakutan itu malah
terjadi.
Aku
tidak bisa berbuat banyak ketika itu, aku hanya bisa tertegun memandangi ayahku
yang tengah berbincang dengan dokter tentang masalah penyakitnya, aku hanya
berdiam, bergumam dalam hati, bahwa aku akan jadi orang pertama yang
menyembuhkan ayahku. Mimpi itu, aku berusaha mati-matian untuk mewujudkannya. Aku
bermimpi bisa menyembuhkan ayahku dengan tanganku sendiri, tentunya dengan
bantuan tuhanku. Hingga aku tanamkan dalam hati bahwa aku harus jadi dokter
nantinya, jadi dokter spesialis Diabetes.
Ketika
masa putih abu-abu, aku berusaha menguasai pelajaran IPA, apapun itu yang
berhubungan dengan IPA, agar aku bisa masuk jurusan IPA ketika duduk di kelas
XI. Satu langkah mimpi itu sudah aku wujudkan, meski aku harus meraihnya dengan
tangis. Aku duduk di jurusan IPA. Perjalananku masih panjang, aku berharap
sakit ayah tidak bertambah parah hingga aku menyandang gelar dokter. Tapi, aku
selalu mendengar suara itu, suara pintu kamar yang terbuka saban malam, keluar
menuju kamar mandi, sembari menahan batuk-batuk yang menggatal. Ah, bersabarlah
ayah, aku akan menyembuhkan kebiasaan buang air kecilmu di tengah malammu itu.
Kurasa
tuhan belum berkehendak, kurasa tuhan hanya mengizinkan aku mempelajari IPA
sebatas aku dudu di bangku Aliyah. Aku tidak punya daya untuk itu, otakku sudah
kupaksa untuk mewujudkan mimpi-mimpi menjadi dokter spesialis diabetes. aku
mengurungkan niatku mengambil jurusan dokter ketika pengisian jurusan pada
ujian masuk perguruan tinggi, aku takut, aku tidak mampu untuk itu, aku
benar-benar gila karena pelajaran IPA, aku tidak menyukainya, bagaimana mungkin
aku mendalami hal yang tidak aku senangi, aku hanya ini menjadi dokter
spesialis diabetes, bukan ahli IPA. Tapi untuk menuju itu, kenapa harus melumat
habis permasalahn tentang IPA.
Kaki
renta itu terlihat tak bisa berjalan lihai lagi, ia melemah. Ayah, aku menyerah
untuk mimpiku ini, aku akan mencoba alternatif lain. Aku memasukkan jurusan
keperawatan pada pilihanku memasuki perguruan tinggi, berharap aku selalu bisa
menjaga ayah dalam profesiku sebagai perawat, meski bukan sebagai dokter. Aku terbangun
dari tidurku, mimpi-mimpi itu sudah jauh melangkah meninggalkan aku, gadis
kecil yang sangat mencintai ayahnya.
Dan,
tuhan masih saja punya kehendak lain. Kalimat bahwa aku tidak lulus itu
benar-benar membuatku patah semangat. Darahku seperti berhenti mengalir, juga
nafasku seperti berhenti terisak. Aku sudah melewati tiga jalur ujian tulis,
dan semua tidak berpihak padaku. Ayah, harus jadi apa anakmu ini. Aku mencoba
ujian terakhir, ujian lokal masuk institute islam negeri. Kali ini aku pasrah
pada kuasa tuhan, juga pada impian-impian kecilku itu, impian untuk
menyembuhkan sakit bodoh yang bersarang di tubuh ayahku, aku harus mengarahkan
impian itu ke lain jalur, sebagai anak jurusan hukum.
Dokter
adalah profesi mulia yang didambakan setiap anak-anak ketika ditanyakan perihal
cita-cita. Juga seperti aku, yang dulu sangat menginginkan profesi itu. Bukan untuk
beradu gengsi, terlebih hanya untuk menyembuhkan ayahku. Diabetes kering itu
sudah menjalar, mengundang radang paru-paru, darah tinggi, kelemahan fungsi
kaki, bahkan stroke ringan. Penyakit itu juga mencintai ayahku, seperti halnya
tuhanku, ia memberikan cobaan ini, begitu indahnya, indah bila disyukuri.
Tiada
lagi pelajaran IPA yang akan aku temui di jurusan hukum ini. Tapi, impian kecil
itu tidak akan pupus begitu saja, demi ayah, aku akan terus mengobatinya,
merawatnya, meski tanpa gelarku sebagai seorang dokter ataupun sebagai seorang
suster. Saban hari, sebelum ayah sarapan pagi, aku harus menyuntiknya dengan
obat insulin, masih seperti keinginan sebelumnya, agar sakit itu tidak bertambah
parah. Setiap kali melihat wajah ayah, aku ingat mimpi besarku itu, menjadi
seorang dokter yang akan selalu mengobati ayah, tanpa kenal lelah. Meskipun tidak
terwujud, setidaknya aku masih bisa menjadi “Perawat” bagi ayah. Biarlah dokter-dokter
di luar sana yang mengobati ayah, aku tahu, tuhan punya rencana yang indah pada
waktunya.
Dan
sekarang, mimpi besar itu harus aku tukar dengan impian yang lebih gila lagi,
menjadi seorang penulis, dengan kisah-kisah mendunia, untuk ayah dan juga
keluargaku. Dan impian ini, tidak boleh meleset lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar