Rabu, 22 Mei 2013

# JOURNALISTIC

Dinamika, Aku Padamu


Bukan siapa-siapa dan akan jadi siapa? selalu melalang buana dalam benakku, ketika awal memberanikan diri mendaftar di Lembaga Pers Mahasiswa IAIN Sumatera Utara, sebuah lembaga intra kampus yang bergerak di bidang jurnalistik. Aku, seorang yang sangat sulit untuk bergaul lalu memutuskan untuk mendaftar sebagai jurnalis kampus? akan jadi apa aku di sana? mau apa? bisa apa?
Berbekal hobi suka menulis aku memberanikan diri untuk mendaftar sebagai jurnalis kampus di Dinamika. Menjadi pendaftar pertama adalah kebanggaan tersendiri bagiku, bahkan formulir pendaftaran pun belum disiapkan ketika itu, hebat sekali.
Langkah dimulai, mengikuti berbagai pelatihan kepenulisan pun kurasa belum cukup untuk menjadikanku bisa menulis seperti senior-senior di Dinamika yang sangat super sekali. Dari SMP, aku suka menulis, meski hanya sekedar menulis kisah sehari-hari dalam buku diary dan juga puisi. Itu pun membuatku tertawa geli ketika melihat kembali hasil tulisan keseharianku juga puisi-puisku dulu, tulisan yang sama sekali tidak terarah.
Pelatihan yang paling aku ingat adalah ketika berlatih menulis puisi non-lugas oleh Kak Wahyu Wiji Astuti, Ia mengajarkan bagaimana menulis puisi yang benar-benar puisi dengan metode membuat pohon kata terlebih dahulu. Lalu dengan metode olahraga rasa yang diajarkan Kak Wahyu, aku dan seluruh isi ruangan diajak berjalan-jalan dalam dunia yang kami ciptakan sendiri, melihat jauh kebelakang juga berhayal jauh ke depan, mengingat kembali kenangan yang indah dan menyakitkan. Memejamkan mata dan tanpa terasa bulir air menggenangi pipiku dan juga kru di sekretariat Dinamika ketika itu. Berbekal kisah itu, diajaklah kami untuk menulis puisi sesuka hati dengan metode pohon kata, yaitu menyusun terlebih dahulu kiasan apa yang ingin dimasukkan ke dalam puisi yang akan di tulis.
Usai menulis puisi diwajibkan untuk memposting puisi non-lugas tersebut di note facebook, banyak sekali pujian untuk puisiku. Aku suka menulis, tapi aku tidak punya nyali untuk memposting tulisanku, takut bila dikritik. Namun tak seburuk perkiraanku, mereka bilang puisiku bagus, begitu juga dengan Kak Wahyu Wiji Astuti.
Aku, kecendrungan untuk timbul masih sangat kecil. Hampir tidak punya nyali sama sekali. Tapi, Dinamika mengubah mainset-ku, untuk tidak takut untuk berbuat, meski sekarang rasa takut masih ada, takut salah. Aku menepisnya. Aku mulai menulis puisi, lalu aku kirim ke Harian Analisa, hasilnya puisiku pernah terbit di edisi 4 Juli 2012. Jika bukan karena aku ada di Dinamika, mungkin aku tidak bernyali untuk mengirimkan puisiku ke Analisa, aku semakin mantab karena sudah mengikuti pelatihan menulis puisi non-lugas kemarin.
Teman baru, sahabat baru, keluarga baru. Bukan mudah untuk menjalaninya, bukan mudah juga untuk mempertahankannya. Milyaran peluh berjatuhan bahkan juga air mata. Teringat ketika pengukuhan  kru muda I angkatan 2012, siapa yang mengira bahwa akan ada air di atas embun. Apalagi ketika ditanya siapa yang akan yakin lulus, aku sama sekali tidak yakin, tapi sahabat baruku Vivi Nurmala Sari terus menyemangatiku bahwa ini adalah rumah kita, jangan pernah takut jika sudah berada di dalam atap rumah sendiri, ini keluarga kita, tidak akan pernah ada hal perlu dikhawatirkan,  dia bilang aku perempuan yang hebat, mampu bertahan hingga sejauh ini. Aku fikir perkiraan Vivi salah ketika itu.
Dalam dekapan Vivi aku tersedu, meratapi hal yang sama sekali tidak bisa aku geluti. Banyak bidang yang bisa di duduki di Dinamika, Desain, fotografi, editor, layoter, litbang dan yang terpenting adalah menjadi reporter. Aku tidak punya keahlian sama sekali di semua bidang. Terisak-isak dalam percakapan yang sulit untuk dihentikan, aku ingat semua pesan-pesan Vivi padaku, bahwa semua harus dijalani dengan hati, semua orang juga memulainya dari nol dan tidak ada seorangpun yang langsung bisa berjalan tanpa berlatih dan itu pun dilalui dengan jatuh berulang-ulang kali.
Ketika pengumuman mengatakan bahwa aku adalah anak magang terbaik ketiga, aku bukan menangis karena haru, aku menangis karena tidak pantas. Banyak yang lebih hebat dariku. Terutama kesalutanku pada Muhammad Zuhri Nasuha, dia benar-benar menanamkan konsep loyalitas yang diajarkan Mbak Berti ketika pelatihan keorganisasian kemarin, aku salut sekali padanya, seharusnya dia yang menjadi terbaik itu.
Tercucur terlebih ketika Vivi dinyatakan tidak lulus, tanganku gemetar. Kalau bisa menjerit aku sudah menjerti ketika itu, dia menyemangatiku dengan kewibaannya, lalu dengan semudah itu Ia dinyatakan tidak lulus. Senior memang sangat suka melihat juniornya menangis, itu terlihat menjadi kebahagiaan tersendiri bagi mereka, tapi tidak sedikit senior yang menangis dalam drama yang mereka sutradari sendiri. Manis sekali.
Lelaki mental kupu-kupu, saking hebatnya arti keluarga baru ini, mata memaksa kantung air mata untuk menumpahkan air di dalamnya. Lelaki pun begitu, padahal ditinggal pacar pun belum tentu mereka bisa menangis, tapi di sini, di tempat yang aku sebut keluarga ini, semua bisa terjadi, tidak satu orangpun yang ingin kehilangan salah satu dari keluarga barunya. Keluarga baru telah lahir, semua dinyatakan lulus setelah secara tidak langsung senior memaksa kami untuk merengek dinyatakan lulus, bagamana tidak? sebab perjuangan sudah dilalui selama tiga bulan lebih, pertengkaran pun sudah menjadi hal yang biasa.
Tidak tahu mau berbuat apa, ya itulah yang sebenarnya ada dalam benakku. setelah tercatat menjadi fotografer di Lembaga Pers Mahasiswa Dinamika, sifat takut salah masih merajalela di benakku. Apalagi dikoordinatori oleh fotografer yang super galak, Murpi Lubis. Sayangnya aku bukan tipe orang yang bisa dimarahi, tapi kenyataannya dia memang pria yang super galak yang pernah aku kenal, Dia tidak begitu galak dimata kru lainnya, entah kenapa di mataku Dia itu sangat galak, meski cara menasihatinya itu tidak seperti yang aku inginkan, namun di balik kegalakannya itu aku yakin ada semangat memotivasi di dalamnya. Lagi-lagi aku bisa kuat karena dorongan sahabat yang baru aku kenal di Dinamika ini, Vivi tak henti menyemangatiku, Ia selalu berhasil untuk menyemangatiku untuk tetap bertahan dan kuat, tapi sayangnya aku terlalu bodoh untuk menjadi motivator bagi Vivi. Hidup adalah pilihan dan ini adalah pilihanku, itu yang selalu ia katakan padaku, bersujud pun aku, tetap tak bisa menggoyahkan keinginannya untuk melepaskan diri dari Dinamika, dengan berbagai alasan sangat sulit aku artikan.
Addin, mungkin aku adalah salah satu kru yang tidak pernah berniat untuk menulis artikel untuk mengisi Addin, aku masih perlu banyak belajar untuk menulis artikel. Pun kemarin aku sangat bangga bila artikelku terbit dengan judul “Tinggalkan Dia Sebelum Halal”, berbekal kisah nyata aku mampu merangkai aksara menjadi sebuah artikel, ini adalah artikel keduaku setelah kemarin aku juga menulis artikel dengan tema Dinamika Peduli yang mengangkat kisah seorang kakek pemulung bernama Muhtarsam yang biasa mengutip botol-botol bekas di IAIN Sumatera Utara, tidak terlalu sulit, karena aku langsung mewawancarai kakek tersebut. Tapi untuk artikel kali ini, setelah namaku keluar melalui jalan pengundian, aku buntu dan sama sekali tidak tahu mau membahas apa dalam artikelku
Berbekal “cinta” aku menulis artikel, dengan konsep awal mencintai dan dicintai. Dengan tidak tidur, aku menulis artikel tersebut semalam suntuk, lebih tepatnya “tidur ayam” agar bisa mengejar deadline. Terasa sekali kepuasan bathin ketika tulisanku terpampang di lembaran Addin, tidak sia-sia tidak tidur semalam, fikirku.
Semangat menulis semakin menggebu, namun sangat menyedihkan bila seorang jurnalis kampus tidak pernah menulis berita. Aku ingat pesan si galak Murpi Lubis, ia mengatakan bahwa jangan pernah menolak bila harus disuruh meeliput acara oleh senior karena dari liputan itulah kita bisa belajar menulis berita. Aku juga ingat apa yang dikatakan kak Haqqi Lutfita, ia bilang kita tidak akan pernah tahu bagaimana tulisan kita baik atau tidak jika kita tidak menuliskannya, jadi tulis dulu baru biarkan ahlinya mengomentari.
Hasilnya, aku sudah menulis beberapa hasil liputan, meski aku tidak tahu kemana perginya tulisanku itu, yang penting adalah aku belajar untuk terus menulis berita, dengan keberanian yang masih tipis untuk mewawancarai orang-orang besar, aku tetaplah harus melaluinya, kalau aku tidak di sini, Dinamika. Bagaimana mungkin aku bisa mewawancarai Pak Erie Sudewo, seorang praktisi pemberdayaan dan pencetus Character Building di acara Seminar Nasional Character Building.
Aku tidak pernah punya cita-cita menjadi seorang penulis apalagi seorang jurnalis. Cita-citaku adalah seorang dokter, seperti kebanyakan anak-anak kecil pada umumnya, tapi hidup harus dijalani dengan hati.
Menulis, aku juga tidak pernah menyangka kalau akhirnya sekarang aku sudah punya dua buku antologi bersama penulis-penulis hebat lainnya di seluruh Indonesia, berkat lomba-lomba menulis yang aku ikuti di facebook, aku lebih membuka mata. Lalu, jika bukan karena Dinamika, bagaimana mungkin aku bisa merangkai aksara dengan EYD yang benar, pelajaran di sekolah saja tidak cukup memadai, tapi di sini benar-benar harus terjun langsung ke dunia kepenulisan. Sekarang pun aku tengah menanti kelahiran tiga buku antologiku yang akan segera terbit juga di dua bulan kedepan.
Banyak hal yang sulit aku ungkapkan, aku memang belum jadi apa-apa. aku juga masih harus mengasah keberaniaku untuk timbul di publik, terlebih aku harus benar-benar meguatkan mentalku untuk tidak menangis bila dimarahi senior, namun praktik itu memang tidak mudah, apalagi untuk mengeluarkan suara dalam forum, padahal sebenarnya banyak sekali yang ingin aku katakan, namun tertahan di bibirku. Padahal Mbak Berti pernah bilang, bahwa “jadi jurnalis jangan melempem”, dan ini masih proses pembelajaran untuk jadi yang lebih baik, bersama Dinamika aku akan berkarya. Dinamika, Aku padamu.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar