Rabu, 22 Mei 2013

# FAMILY

Jerih Payah Gadis Pixy


Hidup, secarik kertas bersketsa kepedihan. Memaksa untuk senyum pun enggan, bagaimana mungkin menyungging senyum sebab leher terjerat nadi. Berat, mengayuh roda yang antah berantah, entah mulai dari mana untuk melaju sampai ke tujuan. Tersungkur pun sulit bangkit, tangan tuhan tak terlihat nyata. Menyerah, salah satu pilihan yang tak bertemankan pilihan.
2011, angka di mana aku mengayuh kaki. Bukan keinginanku, tapi tuhan memvonisku untuk duduk di sini, IAIN Sumatera Utara tepatnya di jurusan Ahwal Syakhsiyah-B. Aku dipertemukan dengan tiga puluh pasang mata yang belum pernah aku temui, tamatan puluhan pesantren termasyhur di negeri ini. Aku, hanya tamatan aliyah yang entah memiliki ilmu sejauh mana. Tiada gairah di awal, rasanya berat untuk melanjutkan kayuhan, namun sesosok wanita parubaya mengantarkanku pada polesan kasih Tuhan. Polesan yang benar-benar diberikan oleh Tuhan untuk umatnya yang mau berusaha, karena Tuhan tidak melihat hasil akhir melainkan proses dari usaha itu sendiri. Perempuan itu, Ibuku.
Terlahir bukan sebagai anak konglomerat, membuatku harus benar-benar memanfaatkan kursiku sebagai mahasiswa. Terlebih defenisi mahasiswa yang tak lain adalah membaca. Perpustakaan adalah surgaku ketika itu, menyadari tak banyak kertas bernilai di sakuku untuk bisa membeli semua buku-buku yang menjadi bahan ajaran pokok pada setiap matakuliah.
Kali ini, aku benar-benar percaya bahwa Tuhan punya rencara lain mendudukkanku di kelas dan kursiku sekarang ini. Sistem ajaran yang memaksakan mahasiswa harus membuat makalah menjadi lahanku untuk berkarya. Sebagian besar teman-teman sejawatku tidak ingin bersusah ria untuk membuat makalah yang sulit bagi mereka. Ini, giliranku untuk maju selangkah.
Makalah, kumpulan carik-carik kertas yang tertoreh tinta dengan aksara yang ilmiah. Menyusunnya bukan perkara mudah, tapi perkara kemauan dan kejelihan. Memilah-milah serta kesesuaian isi sangat menentukan, sulit. Bagiku mudah, sebab sejak aliyah ini adalah tradisi wajib, bisa karena terbiasa. Terbiasa karena tak pernah putus asa.
Seorang teman menanyakan perihal kebersediaanku untuk membuatkannya makalah milik kelompoknya ketika itu, pahamku mereka bukan tidak lihai untuk membuat makalah, mungkin ada hal lain yang harus diselesaikan terlebih dahulu daripada menyelesaikan makalah.
“Nesya, bisa buatkan makalah kelompokku? Sehari sebelum presentase harus sudah siap ya?” tanya Arfan, teman sekelasku.
“Insya Allah bisa” jawabku dengan seulas senyum tersungging di bibirku.
Ketika itu, aku tercatat sebagai sekretaris di kelasku, aku tidak perlu susah menanyakan kembali siapa nama kelompok-kelompok temanku tersebut, juga mengenai judul makalahnya, aku sudah mencatatnnya terlebih dahulu di dalam catatanku. Sebagai seorang sekretaris, sudah menjadi kewajibanku mencatatn semua keadaan yang ada di kelas. Mulai dari pembagian kelompok makalah serta judul-judul makalah di semua matakuliah.
Dengan senang hati aku mengerjakan tugas makalah temanku, selain bisa membantu mereka menyelesaikan tugas, aku juga bisa sambil belajar dari makalah yang aku kerjakan, meski makalah tersebut belum di presentasikan di depan kelas. Aku mulai mencari bahan makalah di perpustakaan, lalu mencari referensi lain di internet. Setelah bahan-bahan terkumpul, kubaca dan kupilah-pilah bahasan mana yang sesuai dengan judul makalah, barulah aku mengerjakannya dengan basmallah.
Makalah perdana aku selesaikan tepat waktu dengan hasil yang baik. Aku mendapatkan upah yang lumayan dari jerih payahku mengerjakan makalah temanku. Setidaknya bisa kutabung untuk membeli buku wajib pada tiap-tiap matakuliah. Bahagia tak terkira terpaut di wajahku, bagaimana tidak, aku telah merelakan waktu tidurku yang seharusnya delapan jam menjadi lima jam saja. Meski begitu teman-teman lain juga ingin jika aku membuatkan tugas makalah mereka. Suatu anugerah bagiku.
Menjadi seorang kakak wanita tertua dari dua adik perempuan bukanlah pekerjaan mudah. Sejak adanya permintaan pembuatan makalah yang membanjiriku, aku hampir lupa pada kewajibanu sebagai seorang kakak yang membimbing adik-adiknya, terutama membimbing dalam membersihkan rumah sendiri. Bukan sehari atau dua hari aku mengabaikan tugas rumahku demi mengerjakan sebuah makalah, nyaris membuat mamaku kesal.
“Rumah gak dibersihkan, baju gak disetrika, satu harian di depan komputer saja.” Ujar mama dengan sedikit nada meninggi serta raut wajah mengkerut di antara kedua alis matanya.
Sejenak kuhentikan tangaku menjama keyboard, dengan sigap kubersikan rumahku agar tiada lagi amarah yang keluar dari mult mamaku. Padahal sebenarnya untuk membereskan rumah bukan hanya menjadi tugas seorang kakak, namun juga bisa dikerjakan oleh adik-adik yang umurnya juga sudah dewasa. Namun terkadang kesaran masih minim dari adik-adikku, persepsi mereka bahwa mereka tidak ingin bekerja bila sang kakak tidak ikut berpartisipasi, itulah adikku.
Aku tidak ingin sedikitpun membantah apapun yang dikatakan oleh mamaku, meski mama tidak tahu apa sebenarnya tujuanku menerima tempahan makalah-makalah tersebut. Tidak lain adalah untuk mendapatkan dana tambahan untukku membeli buku kuliah atau buku-buku lain, setidaknya aku bisa meringankan sedikit beban mamaku dan juga papaku, sebab untuk menjadi seorang peminta haruslah berfikir dua kali untuk menadahkan tangan. Jika mampu, mengapa tidak?
Hari-hariku disibukkan dengan mengerjakan makalah teman-temanku, juga makalahku sendiri. Dari pembuatan satu makalah aku bisa mendapatkan sekitar Rp 20.000,- suatu anugerah bagiku untuk melanjutkan kuliah dan tidak ingin menyia-nyiakannya. Aku bersyukur pada tuhan, karena diberi kesempatan dan kesehatan hingga aku bisa menyelesaikan begitu banyak makalah dengan baik, karena tuhan maha baik.
Selama semester satu, aku tidak pernah menengadah tangan pada mamaku untuk meminta uang dengan alasan membeli buku, penghasilanku dari membuat makalah sudah sangat cukup bagiku memenuhi biayaku dalam membeli buku di semua matakuliah ketika itu.
2012, pola fikirku semakin menggila untuk berusaha sendiri dalam membiayai kuliahku, tidak meminta uang untuk membeli buku belumlah cukup untuk membantu perekonomian mama ataupun papa. Aku memutuskan untuk pergi kuliah dengan mengendarai sepeda. Abang kandungku merakit sepeda pixy dengan tangannya sendiri, dengan keahlian yang dimilikinya, ia pun mampu menghasilkan uang dengan jasa-jasa perbengkelan, tidak kalah jauh denganku.
Dengan sepeda pixy rakitan abang kandungku, aku bertekad untuk pergi kuliah mengendarai sepeda, dengan niat untuk tidak meminta ongkos lagi pada mamaku, kalaupun diberikan oleh mama, maka akan aku tabung untuk keperluan ke depannya. Semua kebaikan tidak jauh dari segala konflik.
“Setiap hari pake sepedaku, uda lecet-lecet sepedanya. Kenapa gak kau jaga?” ujar abangku dengan sedikit membentak. Aku sadar bahwa aku juga hanya meminjam sepeda pixy tersebut, aku tidak bisa melawan karena memang aku yang salah, tidak menjaga sepeda tersebut dengan baik, hingga terlihat lecet di sela-sela batang sepeda yang memiliki warna kuning tersebut.
Jarak dari rumah ke kampus memakan waktu satu jam bila menaiki angkutan umum, bagaimana dengan menaiki sepeda? Aku tidak pernah meragu untuk memulai, dengan segala kesulitan yang aku torehkan, maka akan semakin tidak ada celahku untuk menyia-nyiakan waktuku di bangku kuliah karena sangat sulit bagiku mengayuh roda untuk sampai di kampus tercinta.
Dikenal sebagai wanita penakut dan manja di rumah membuatku semakin gigih membuktikan bahwa aku sangat bisa mandiri. Terlebih membiayai diriku sendiri, setidaknya aku tidak menyusahkan dan mendesak-desak orangtuaku jikalau tidak memiliki uang untuk membiayai sesuatu.
Bersama mentari meninggi, aku mulai mengayuh sepeda pixy yang aku pinjam dari abang kandungku, menghindari sengatan matahari yang tajam, aku berangkat pagi sekali. Melewati jalanan yang berliku-liku, lingkungan perdesaan yang asri membuatku sangat mencintai aktifitasku bersepeda ketika pergi ke kampus, selain menyehatkan, bersepeda juga sangat hemat ongkos.
Lelah memang sangat terasa hingga di ubun-ubun. Namun lelah lebih sangat menyakitkan bila telah bersusah payah datang ke kampus namun dosen tidak menghadiri kelas, seperti tersayat belati, teriris keris, terbacok golok. Namun kedatanganku ke kampus itu bukanlah menjadi hal yang sia-sia, ilmu bukan hanya didapatkan ketika duduk di dalam kelas. Perpustakaan terbuka lebar setiap hari, aku bersemedi dalam perpustakaan, mencekoki kepalaku dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat meski bukan ilmu yang keluar dari mulut dosen. Prasangka baiknya, mungkin para dosen tesebut punya kepentingan lain yang tidak bisa ditinggalkan.
Putus asa bukan sekali ataupun dua kali atau bahkan lebih. Mengingat begitu sulit untuk menuntut ilmu, harus mengayuh sepeda di teriknya mentari, di sengatan senja menyilaui, saking sulitnya untuk mendaki tanjakan jalanan yang mereka sebut jalan tall, aku harus turun dari sepeda lalu mendorongnya hingga ke atas jalan tall tersebut, lalu menaikinya lagi ketika turunan. Mengendarai sepeda tanpa rem membuatku benar-benar harus berhati-hati ketika mendapati turunan, jika aku oleng sedikit dan tidak bisa mengendalikannya, maka aku akan menabrak pengendara lain atau bahkan pengendara lain menabrakku.
Terlihat hujan pun sangat mencintaiku ketika itu, hujan mengguyur dengan derasnya, diiringi dengan dentuman langit yang murka. Aku berusaha untuk membelah angin, menelusuri jalanan landai, namun aku teringat bahwa aku membawa buku pelajaran yang sudah aku simpan di dalam tas ranselku, aku tidak ingin buku pelajaran yang sudah aku isi dengan berbagai matakuliah basah dan rusak begitu saja.
Aku tidak pernah menyalahkan hujan, aku bahkan sangat mencintai hujan, namun ketika senja hampir tertidur, hujan tak kunjung reda. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membalut tas ranselku dengan jaket yang tengah aku kenakan, tidak mengapa tuuhku kuyup, asalkan tidak dengan ilmu yang sudah kugalih dalam-dalam dan kutoreh di dalam buku catatan.
Melihat gadis tertuanya basah kuyub dan menggigil, mama terlihat sangat khawatir, bahkan sudah sering mama melarangku untuk bersepeda pergi ke kampus. Namun aku tidak jerah sebab aku bukan gadis manja yang sakit diterpa hujan lalu menyerah dengan keadaan yang tidak berpihak.
Niat baik pun kadang tak selamanya dianggap baik, seperti layaknya mamaku yang melarangku mengendarai sepeda ketika ke kampus, abang kandungku juga terlihat sangat murka ketika ia dapati semakin banyak lecet yang diderita oleh pixy miliknya, bukan sengaja aku lakukan, tapi entah aku tidak menahu. Cukup sabar mengelus dada, setidaknya aku masih diizinkan untk menggunakan sepeda pixy milik abangku, meski telingaku kebal mendengar ocehannya saban waktu.
Setiap kerja keras pastilah ada imbasnya, tidur yang sudah tidak teratur lagi, sejak aku menerima jasa pembuatan makalah, tensi darah menurun karena terlalu lelah mengendari sepeda dengan jarak yang sangat jauh. Namun aku tidak akan kalah dengan semua dampak buruk yang terjadi, karena aku yakin pasti akan ada hikmah di balik semuanya.
Tiada jenjang waktu untuk terus belajar, tingkatkan kualitas diri. Dengan kegigihan yang aku taburkan, maka aku bisa menuai benih dari apa yang telah aku lakukan, setidaknya tuhan tahu bahwa aku sangat membutuhkan itu. Aku mendapatkan beasiswa dari DIPA  IAIN Sumatera Utara sebagai mahasiswa kurang mampu yang berprestasi. Itu adalah beasiswa pertama dalam sejarah hidupku. Dengan begitu, mama juga snagat terbantu, aku tersenyum haru.
2013, pengorderan jasa pembuatan makalah semakin menyusut, mengingat semakin dewasanya sahabat-sahabatku dalam mengerjakan makalah mereka sendiri, bagaimana pun juga mereka harus membiasakan diri membuat makalah, agar mudah mengerjakan tugas akhir yaitu skripsi.
Karena menyusutnya teman-teman yang menggunakan jasa pembuatan makalah, aku kembali memutar otak untuk kembali bisa membiayai diri meringankan biaya orangtuaku. Aku berdalih dengan menjual keripik balado. Hasil rekomendasi dari teman-temanku yang mengatakan bahwa berdagang itu baik adanya, seperti baginda Rasullullah, yang suka dengan berdagang.
Aku tidak membuat sendiri keripik tersebut, aku hanya mnegambilnya dari seorang teman lalu menjualnya kembali. Hasilnya lumayan, dalam seminggu aku bisa menghasilkan Rp 50.000,- dalam sebulan aku bisa menghasilkan Rp 200.000,- nilai yang sangat berharga bagi mahasiswa yang sangat haus ilmu, sepertiku.
Tidak mengenal gengsi, aku menjajakan dagangan keripikku ke sana ke mari, demi sebuah kalimat “Kak, beli keripiknya”, keringat jatuh bukan sebutir ataupun dua butir, namun di dalam butiran peluh itulah tersimpan milyaran jerih payah yang akan membuatku terus semangat memacu diri agar bisa terus mengecap pendidikan tanpa menyusahkanka kedua orangtua.
Setiap hasil jualan aku tabung secukupnya, sebagian aku pergunakan untuk memenuhi keperluaku, seperti membeli buku atau keperluan lainnya. Menjadi seorang mahasiswa yang mandiri bukanlah mudah, hanya perkara kemauan dan usaha. Jika tertanam dalam diri bahwasanya tuhan selalu ada memberikan jalan keluar, pasti tidak akan ada rakyat yang melarat sekarang ini.
Tidak ada kata tidak untuk menuntut ilmu, bagaimapun bentuk sulitnya hidup, pasti tuhan akan selalu memberikan jalan, karena aku percaya bahwa tuhan sudah menetapkan rezki kita masing-masing dan tidak akan pernah tertkar ataupun kemana-mana.
Mengayuh dan terus mengayuh, percaya bahwa tuhan meringankan kayukanku dikala mendaki, menahan kayuhanku dikala menurun, melindungiku dikala terjebak kesukaran. Layaknya roda bumi yang berputar tiada henti, melewati terik dan sengtinya mentari. Tiada kata lelah hingga tuhan berkata waktunya pulang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar