Kamis, 08 Agustus 2013

# TRAVEL

Hari-9; Sepuluh Hari Mencari Berkah di Kampung Ramadhan

Alhamdulillah, sudah sampai di hari ke sembilan selama berada di desa yang kami sebut kampung ramadhan. Kenapa kampung ramadhan? Padahal di desa tersebut mayoritas non-muslim, bahkan muslimnya sangat sedikit sekali. Justru karena itulah, karena dengan minimnya masyarakat muslim di kampung ini, kami bangga menyebutnya kampung ramadhan. Bagaimana tidak, masyarakat di desa ini masih antusias dengan aktifitas-aktifitas yang mencerminkan bulan ramadhan, padahal di sekitar mereka bertebaran warung-warung makan non-muslim, bertebaran godaan-godaan lainnya yang bisa saja menggoda masyarakat muslim yang minim ini untuk meninggalkan kegiatan di bulan ramadhan.
Gelar kampung ramadhan ini juga didasari karena masih terasa sekali jiwa-jiwa muslim yang berpuasa, meski banyak anjing yang menggonggong liar sekali. Bahkan dengan antusiasnya masyarakat di kampung ini, terasa menutupi bahwa di kampung ini adalah minim muslim, bahkan terlihat seperti mayoritas muslim, itu semua karena kesolidaritasan mereka dalam membangun Islam.
Di tanggal 23 juli 2013 ini adalah hari terakhir kami untuk melakukan kegiatan di desa ini, terakhir buka bersama, terakhir sahur dan bahkan terakhir sholat tarawih bersama. Sedih sekali, tapi bagamanapun setiap pertemuan adalah perpisahan dan perpisahan adalah awal dari pertemuan. Dan aku percaya bahwa nanti aku, Tari, Dani dan seluruh keluarga di desa Sukadame akan bertemu lagi, dengan aktifitas yang wow daripada sepuluh hari ini.

Hari ini, Mak Nunun dan Bang Ambon akan mengajak kami berladang. Kata Mak Nunun sih kami mau ke ladang untuk mengambil langsung oleh-oleh untuk di bawa ke Medan, Asyik… Wah, berladang, ini aktifitas yang pertama sekali aku lakoni, mengingat aku tidak pernah berladang sama sekali, bahkan melihat persawahan padi yang membentang luas dan hijau saja aku terlalu kemaruk, rasanya ingin foto-foto terus, karena aku merasa tengah berada di antara para petani yang telah menghidupi rakyat Indonesia. Karena, apa jadinya Indonesia tanpa beras, dan apa jadinya beras tanpa petani, begitulah kira-kira.
Sempatin Berpose di Pepadian
Tidak seperti yang aku duga, perkiraanku letak ladang yang Mak Nunun maksud itu hanya sekedar beberapa langkah dari kediaman kami. Ternyata, jauh sekali. Terlebih aku yang tidak bisa menempuh perjalanan jauh dengan menaiki kaki, wajarlah aku ada sedikit sakit asma yang masih ringan sih, belum sampai akut, jangan sampai deh. Perjalanan dimulai dengan melintasi pepadian yang hijau membentang, diikuti dengan persawahan jagung yang masih muda, belum siap panen.
Eksis Juga di Ladang Jagung
Kami berangkat tanpa ditemani si Nunun, karena kami harus berangkat ke ladang pagi sekali, dan si Nunun harus pergi ke sekolah TK nya, yang kebetulan letak TK nya itu berada tepat di depan rumah Karo, rumah yang kami naungi selama sepuluh hari ini. Kenapa pagi sekali? Karena cuaca akan cepat sekali terik, bisa-bisa kami pingsan di jalan, belum lagi jalannya itu mendaki, wah bayangkan betapa lelahnya ketika itu, mendaki gunung dalam keadaan puasa. Bahkan ketika sudah sampai di puncak, ada kebanggaan tersendiri.
Landscape dari atas bukit
Untuk menempuh pucak kami harus melewati banyak kebun, hanya untuk sampai di kebun sawit. Sebenarnya hari ini adalah waktunya Bang Ambon panen sawit. Jadi sekalian menyinggahi ladang mereka yang lain untuk menghadiahi kami oleh-oleh pulang ke Medan. Kami melewati kebun pisang, kelapa, papaya, durian, manggis, petai, jengkol, jagung, cabe dan ladang sawit milik warga lain. Dan yang aku sesalkan duriannya belum matang, jadi tidak bisa dijadikan oleh-oleh, sayang sekali.
Nah, setelah mengelus dada karena hampir lelah dan menyerah. Sampailah di ladang Sawit. Aku, Tari dan Dani membantu Bang Ambon memanen sawit, setidaknya memasukkan biji sawit ke dalam karung goni.
Bang Ambon Panen Sawit

Eksis Juga Meski cuma Ngebantuin ^^
Setelah panen sawit selesai, barulah Mak Nunun dan Bang Ambon mengajak kami berkeliling ladang lainnya, kami diajak untuk mengambil cabe, untuk sampai ke ladang cabe kami harus menempuh jalanan yang sangat ekstrim, bagaimana tidak, untuk menuju ke sana itu tidak ada jalan setapak sama sekali, kami harus meraba jalan tanpa bantuan apapun, dan itu posisinya mendaki, salah injak bisa-bisa terpeleset dan jatuh terjungkal. Dan setibanya di atas, ternyata cabenya belum berbuah hanya sedikit sekali, tidak layak untuk dipanen. Akhirnya kami menunggu di pondok dan Mak Nunun mencari cabe di ladang yang satunya lagi.
            Selama menunggu di pondok, tidak ada rasa bosan sama sekali, berasa mahasiswa pecinta alam yang tersesat di gunung, tidak ada manusia lain selain kami. Tidak bosa karena ada si Hamzah, selama di pondok si Hamzah tak hentinya menjaili aku, mencubiti hidungku. Katanya galang, haha (galang=panjang). Emangnya hidung pinokio apa ya.
Hidungku bukan Hidung Pinokio, Zah :/
Dan setelah itu, si Hamzah melihat ada sungai kecil yang dialiri ikan-ikan kecil, kemudian ia langsung menanggalkan pakaiannya dan langsung terjun ke sungai untuk mengambil ikan-ikan tersebut dengan mangkuk yang tersedia di pinggir sungai kecil itu. Lucunya, si Hamzah tidak melepaskan kopiahnya sama sekali, pemandangan ini terlihat lucu dan menggemaskan sekali.
Nangkap Ikan Kitik Pakai Kopiah, haha
Setelah beberapa lama menunggu barulah Mak Nunun datang membawa dua tangkai pisang untuk dibagi bertiga, aku Tari dan Dani.
Asyik.. Dapat oleh-oleh :)
Selain oleh-oleh ini, kami juga dibawakan cabe rawit, pepaya, dan kelapa tua. Setelah selesai mengambil oleh-oleh untuk kami, kami harus bergegas kembali ke rumah untuk sholat zhuhur. Namun ternyata perjalanan pulang lebih melelahkan daripada pergi tadi. Jadi, setelah sampai di pertengahan perjalanan kami singgah di pinggir bukit untuk merebahkan sedikit persendian yang mulai pegal. Dan tak lupa untuk mencari signal, karena bila sudah tiba di rumah pasti tidak akan ada signal lagi. Seperti yang dilakukan si Dani ini.
Nyari Signal di Bukit Sukadame ~ Dani
Dan sembari menunggu lelah yang mereda, aku menyempatkan diri untuk membuatkan di Hamzah mahkota yang terbuat dari daun ubi. Lucu sekali. Ia seperti pangeran, maka dari itu aku menyebutnya pangeran kitik Sukadame. Kitik artinya kecil.
Pangeran Kitik Sukadame
Setelah tenanga kembali pulih, kami pun kembali ke rumah dengan membawa semua yang telah kami panen, termasuk sawit.
Hamzah Juga Kuat ~ katanya ^^

Bekas Tentara Gak Jadi nih, Uda Biasa angkat beban berat
Senangnya bisa bertemu dengan keluarga sebaik keluarga Bang Ambon dan Mak Nunun. Dan ada yang lebih menyenangkan lagi sekaligus mengharukan.
Pelepasan yang Mengharukan :(
Ketika malam terakhir di Masjid Al-ikhlas, usai sholat tarawih berjama’ah, para warga melepas kami dengan berdoa bersama, menyalami kami, berputar seperti ketika dulu aku masih di aliyah, ketika memperingati hari guru, pasti para murid menyalami semua guru-guru secara bergiliran. Nah, seperti itulah suasana malam itu, mengharukan sekali ditemani dengan nyanyian shalawat badar yang dibawakan oleh ustadz tertua di masjid tersebut. Aku bakal rindu suasana ini, kekeluargaannya terasa sekali.


Bersambung…>>


1 komentar:

  1. Karena gonta-ganti template. Semua komentar di post ini hilang. Silahkan tinggalkan komentar ya ^^ Terimakasih untuk komentar anda di postingan ini :)

    BalasHapus