Tiga belas tahun telah berlalu, sejak gempa dan gelombang
tsunami meluluhlantakkan kota yang dikenal sebagai Serambi Mekah. Banda Aceh,
akhir tahun 2004 menjadi tahun bersejarah bagi seluruh masyarakat dunia, yang
mana di tahun itulah ribuan orang tersapu arus gelombang tsunami, ribuan
keluarga terpisah, anak menjadi yatim bahkan piatu dan istri menjadi janda
begitupun sebaliknya.
Namun, ada banyak hal yang sepatutnya disyukuri dari
berbagai peristiwa yang datang menerjang. Hikmah. Ya, satu kata itulah yang
kini kian menguatkan masyarakat Banda Aceh. Kehilangan harta dan keluarga
takkan menyurutkan semangat mereka untuk melangsungkan hidup. Meski dengan
banyak keterbatasan yang sulit dihindari.
Kini Aceh semakin berbenah, itulah hikmahnya. Kedatanganku
ke Banda Aceh membuatku takjub. Aku seperti melihat kota yang terlahir kembali,
semua serba baru. Infrastruktur dan wajah-wajah masyarakat kota terlihat sangat
sumringah. Aku semakin menyusuri kota ini bukan hanya di inti kota, aku sampai dimana
kota ini dikenal dengan mayoritas penduduknya sebagai nelayan. Ya, pesisir
pantai.
Aku mendatangi desa Lhok Akok dan Gampong Lamngah, kedua
desa ini didominasi oleh nelayan Tiram. Desa ini didominasi oleh para ibu yang
ditinggal wafat suaminya. Bekerja susah payah menghidupi keluarga dan beberapa
anaknya.
Salah satu anggota kelompok yang sudah lanjut usia di kelompok Lhok Akok |
Wajah keriput menandakan usia yang sudah tidak muda,
pun kehidupannya. Tapi mereka tetap bersahaja menyambut kedatangan sesiapa yang
ingin berkunjung atau sekedar tegur sapa. Di waduk seluas tiga hektar, para ibu
bekerja sebagai nelayan tiram. Terik dan petang, mereka lawan bila menantang.
Keadaan waduk menggunakan bambu bekas sebelum menggunakan metode Rumah Tiram |
Sebelum tsunami menjadi tamu yang tidak diharapkan, para
ibu di pesisir pantai ini sudah lebih dulu menjadi nelayan tiram. Bersama
suami, mereka membudidayakan tiram dengan cara yang masih sangat tradisional,
yaitu menancapkan bambu ke dasar waduk dengan membentuk lingkaran. Berendam
sembari membungkuk meraba mencari tiram di dasar waduk. Tidak dengan
penglihatan, hanya dengan perasa. Menerka dengan tangan, dimana letak tiram
berada.
Nelayan Tiram mengambil contoh Tiram yang siap panen di dalam keranjang |
“Dahulu, saya dan nelayan lainnya berendam di waduk
mencari tiram hingga petang. Terkadang kaki terasa perih, tangan juga sering
terkena sayatan tajam cangkang tiram.” Sambut nelayan perempuan bersama Halis
Manidar, satu dari kelompok nelayan yang menjadi janda sejak ditinggal wafat
suaminya pada peristiwa tsunamin 2004 silam. Kutatap matanya yang nanar,
seperti mengulang kembali ingatan kejadian menyakitkan yang membuat ia
kehilangan suaminya.
Keadaan Nelayan Tiram sebelum menggunakan metode Rumah Tiram |
Bila masa panen datang, para nelayan akan berendam di
waduk dari pagi hingga petang. Bagi mereka, nafkah adalah tali penyambung
hidup. Meski terik, bahkan tersayat tajamnya cangkang tiram, tidak peduli. Asal
kebutuhan keluarga terpenuhi.
Dulu, Anak-anak ikut berendam mencari Tiram |
Tidak hanya para nelayan, terkadang anak-anak mereka
pun ikut membantu membudidaya tiram. Bagaimanalah, mencari tiram di waduk
agaknya lebih menyenangkan ketimbang mencari ilmu di sekolah. Berendam
berjam-jam di waduk, bermain bersama teman, itulah kesenangan anak-anak pesisir
pantai. Masih belum terfikir, kelak apa yang akan terjadi bila ilmu dicapai
lebih tinggi. Yang tepenting, hari ini perut akan terisi.
Meski terkadang, tangan dan kaki tersayat cangkang
tiram yang tajam, mereka terus saja mencari tiram yang terbenam. Di dasar waduk
dan yang menempel di bambu. Memang, mereka tahu kesehatan akan terganggu bila
berendam terlalu lama di dalam waduk. Pun kandungan logam yang diambil dari
dasar waduk juga tidak baik dikonsumsi.
Dengan cara kerja nelayan tiram yang demikian, salah
seorang warga di Banda Aceh, Syardani Muhammad Syarif mempelopori terbentuknya
teknologi Rumah Tiram. Awalnya warga tidak mengerti bagaimana cara kerja rumah
tiram, mereka cenderung lebih suka melakukan cara kerja yang sudah pernah
mereka lakukan, namun mereka tidak tahu dampak buruk yang akan terjadi pada
jangka panjang. Maka dari itu, Rumah Tiram dibentuk agar masyarakat desa
khususnya nelayan tiram berinovasi pada perkembangan teknologi yang kian pesat.
Keadaan waduk setelah menerapkan metode Rumah Tiram |
“Kami ini tidak mengerti, biasanya berendam dan
mencari tiram di dasar waduk. Panas-panasan, katanya ada inovasi Rumah Tiram
dan kami akan diberi pelatihan. Syukurlah.” Jawabnya ketika aku tanya kebenaran
soal Rumah Tiram kepada bu Halis Manidar, tampaknya memang pengetahuan
masyarakat pesisir pantai pun masih minim, itulah dibutuhkan inovasi dari orang-orang
yang paham akan itu.
Pipa dengan cor beton di dalamnya sebagai penyanggah ban bekas |
Ban bekas digunakan untuk Tiram bersarang, ban bekas diikat dan digantungkan di pipa |
Keranjang berfungsi sebagai tahap akhir Tiram berkembang hingga siap panen |
Perahu digunakan nelayan untuk mengambil tiram dari keranjang agar meminimalisir nelayan berendam di air |
Rumah Tiram adalah tempat budidaya tiram
yang disebut sebagai rumah, terbuat dari pipa dan dalamnya terdapat cor beton,
serta ban mobil bekas sebagai tempat bersarang tiram. Ban mobil bekas
digantungkan di pipa dengan cara diikat. Kemudian setelah dua bulan, diharapkan
tiram akan berkembang di permukaan ban, kemudian bibit tiram yang tumbuh selama
2 bulan tersebut dipindahkan ke dalam keranjang untuk mengalami pertumbuhan
hingga masa panen.
Hasil panen tiram selama 5-6 bulan di dalam keranjang |
Tiram yang melekat di ban bekas |
Kemudian teknologi Rumah Tiram tersebut diteliti oleh
Ichsan Rusydi yang merupakan Staf Pengajar Fakultas Kelautan dan Perikanan
Universitas Syiah Kuala bersama sepuluh mahasiswanya.
“Kita
melihat potensi yang bagus dari budidaya tiram, di luar negeri Tiram itu sangat
banyak sekali peminatnya. Harganya pun cukup fantastis, di Indonesia khususnya
Aceh sudah sepatutnya mengembangkan budidaya Tiram dengan inovasi Rumah Tiram
tersebut. Agar nelayan kita juga berkembang.” Ungkap Ichsan Rusydi sebagai
seorang peneliti pengembangan Rumah Tiram.
Para Ibu Nelayan Tiram |
Dalam
pengembangan teknologi rumah tiram ini, dilakukan metode pengelompokan.
Dibentuklah empat kelompok dari para perempuan nelayan tiram. Terbagi di dua
daerah, di Banda Aceh terdapat dua kelompok yaitu Kelompok Lhok Akok Desa
Tibang yang terdiri dari 9 orang dengan luas lahan 2 hektar. Kemudian
selanjutnya kelompok Cot Mee Desa Alue Naga yang terdiri dari 10 orang dengan
luas lahan 3 hektar.
Sedangkan
di Aceh Besar, juga terdapat dua kelompok yaitu Kelompok Tiram Jaya Bahari Desa
Gampong Lamngah yang terdiri dari 19 orang dengan luas lahan 1 hektar dan
Kelompok Bina Usaha Tiram Desa Ujong Pancu yang terdiri dari 10 orang dengan
luas lahan 5 hektar.
Ichsan
dan sepuluh mahasiswanya melakukan observasi dari empat kelompok tersebut. Di
desa Alu Naga, para nelayan tiram hanya memanfaatkan pipa beton dan ban bekas
sebagai rumah tiram hingga tiram berkembang utuh, tidak dipindahkan ke
keranjang seperti di desa lainnya. Selain daripada pipa, cor beton dan
keranjang, Ichsan juga berinovasi dengan pembuatan perahu sebagai sarana
pengambilan tiram di area waduk. Fungsinya agar para nelayan tidak lagi masuk
ke dalam waduk dan mengurangi resiko yang tidak baik bagi kesehatan.
Para
nelayan kian mengerti dan memahami pengaruh Teknologi Rumah Tiram terhadap
kesehatan dan pendidikan masyarakat. Para nelayan juga mulai paham bahwa logam
berat pada tiram yang terdapat di dasar waduk sangatlah tinggi sehingga tiram
tersebut cenderung tidak baik dikonsumsi. Masyarakat sebenarnya memahami kalau
berendam di dalam waduk yang berair asin sangat membahayakan kesehatan, namun
kini nelayan sudah menemukan inovasi baru dengan penggunaan sampan untuk
mengambil tiram.
Perubahan
signifikan dirasakan oleh nelayan tiram, khususnya dalam hal penghematan waktu.
Bila biasanya nelayan tiram harus merogoh dasar waduk untuk mencari tiram yang
belum pasti pertumbuhannya, setelah adanya rumah tiram, nelayan cukup
mengangkat ban atau bahkan hanya mengambilnya di dalam keranjang. Sesederhana
itu, rumah tiram dibentuk untuk meminimalisir waktu nelayan berendam di dalam
air.
Tiram siap panen sebesar telapak tangan orang dewasa |
Hasilnya lebih baik dan jernih |
Dalam
kurun waktu lima hingga enam bulan, tiram akan berkembang berukuran sebesar
telapak tangan orang dewasa, Tiram yang dihasilkan dari inovasi Rumah Tiram
cenderung lebih utuh dan lebih banyak menghasilkan bibit baru di setiap
cangkangnya, harganya tentu akan lebih mahal dari biasanya.
Bibit Tiram baru yang menempel di cangkang Tiram dan siap dikembangkan kembali |
Hasil
panen dari inovasi rumah tiraam ini juga jauh lebih baik dari cara tradisional
yang dilakukan nelayan sebelumnya. Jika sebelumnya penghasilan penduduk
berkisar Rp. 20.000,- hingga Rp. 30.000,- per hari, kini meningkat menjadi Rp.
50.000,- hingga Rp. 80.000,-
“Dari
segi penghasilan tentu kami merasa sangat terbantu, karena dulunya kami hanya
mampu meraup untung dua puluh ribuan, kini untung setiap harinya bisa mencapai delapan puluh ribu dan kami
tidak harus berendam seharian di dasar waduk. Anak-anak juga tidak lagi ikut
membantu, mereka kita suruh belajar baik-baik di sekolah. Akhirnya, kami
memiliki waktu lebih banyak untuk mengurus anak di rumah” Jawab bu Halis
Manidar sumringah. Aku yang melihat wajah bahagianya menceritakan perjalanan
yang signifikan membaik, membuatku jadi ikut merasa bahagia, sedikit mengurangi
beban ingatannya pada rasa perihnya kehilangan suami.
Tentu
inovasi Rumah Tiram ini menjadikan perekonomian warga lebih meningkat, karena
selain nelayan, masyarakat juga berinovasi mengembangkan Tiram menjadi panganan
seperti saus tiram, kerupuk dan pupuk. Bahkan yang lebih berkembangnya lagi,
kini tiram sudah merambah ke usaha aneka masakan mie tiram dan kuah tiram.
Panganan tersebut sudah tersebar di warung-warung makan di Aceh.
“Tidak
hanya nelayan yang berkembang, karena setelah nelayan panen, tiram dijual ke
masyarakat lain untuk diolah menjadi saus tiram, kerupuk dan panganan lainnya.
Hasilnya seperti saus dan kuah tiram sudah dijual di warung-warung makan di
kota Banda Aceh.” Tambah Ichsan.
Para
nelayan juga semakin menjaga kearifan lokal dengan tidak mengambil tiram yang
masih kecil dan tentu membiarkannya tumbuh berkembang. Para nelayan juga
semakin menjaga ekosistem waduk, karena waduk tersebut adalah mata pencaharian
mereka.
Ichsan Rusydi (tiga dari kiri: batik hijau) Penerima SATU Indonesia Awards 2016 |
Atas
dasar pengembangan yang membantu mensejahterakan nelayan kota Banda Aceh
melalui inovasi rumah tiram, Ichsan Rusydi sebagai peneliti sekaligus inovator
rumah Rumah Tiram mendapat penghargaan dari PT. Astra International, Tbk
kategori kelompok pada Semangat Astra Terpadu untuk Indonesian (SATU Indonesia)
Awards 2016 dan dianggap telah mampu melakukan perubahan sekaligus memberikan
dampak baik bagi masyarakat terutama nelayan pesisir pantai kota Banda Aceh.
Ichsan
Rusydi mengaku tidak menyangka bila dirinya mendapat penghargaan tersebut,
karena apa yang Ichsan dan sepuluh mahasiswanya lakukan hanya sekedar untuk
membantu perekonomian masyarakat menjadi lebih baik.
Peresmian Kampung Berseri Astra sebagai kerja sama dan penghargaan SATU Indonesia Awards |
PT.
Astra International, Tbk sangat mengapresiasi inovasi nelayan Aceh untuk terus
berkembang bersama teknologi yang kian canggih. Maka dari itu Astra bekerja
sama dengan Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah agar masyarakat Aceh kian
berinovasi. Dalam hal ini akan bekerjasama dalam tiga bidang, yaitu dari segi Pendidikan,
Lingkungan dan Kewirausahaan.
Penandatangan MOU Kerja Sama dengan PT. Astra International, Tbk |
Dari Segi pendidikan, akan dilakukan Pengembangan
Senyum Sapa PAUD Astra, kemudian dari segi lingkungan, akan dilakukan pembinaan
Kampung Berseri Astra, Penghijauan
lingkungan desa dan pelatihan kader lingkungan. Pembuatan tambak terintegrasi
ramah lingkungan (ecoshim & oyster) serta Pembuatan
Rumah Tiram
Dari
segi Kewirausahaan, akan dilakukan Sosialisasi pembentukan kelompok usaha
rakyat meliputi Pelatihan aneka olahan tiram dan ikan serta Pembinaan dan
pembentukan koperasi rakyat.
“Harapannya, Masyarakat Aceh tidak hanya berinovasi
dalam pengembangan Rumah Tiram. Dengan bantuan dan kerjasama bersama Astra, semoga
Banda Aceh semakin berinovasi dalam bidang lainnya yang berbasis teknologi dan
menjadikan masyarakat Aceh semakin sejahtera.” Tutup Ichsan.
Berjayalah Astra, selama 60 tahun menginspirasi negeri.
Nelayan Banda Aceh memang tak lagi muda, tapi semangat dan energi baiknya
haruslah serupa Astra, yang perjalanannya menginspirasi seluruh kalangan bangsa.
Salam SATU Indonesia.
Nes, aku masik inget kali lah gempa Aceh yg dulu itu. Sampek merinding pun kalok inget :(
BalasHapusTapi alhamdulillah sekarang Aceh uda maju ya, bangunannya pun bagus-bagus. Plus banyak bantuan beasiswa untuk anak-anak sekolahnya. 😁
Iya, Aceh sudah semakin berkembang, sejuk dan super ngademin.
HapusMba, ini ibu2 hebat ya berjuang melanjutkan perjuangan walau sudah ditinggal suaminya karena musibah tsunami. Tetap semangat, keren. Jadi pendapatannya naik ya per hari. Moga program astra semakin berkembang dan manfaat utk masyarakat di sana. Apalagi case yg seperti ini
BalasHapusIya, dengan adanya program Astra ini sangat membantu sekali.
Hapusdari dulu aku pengen banget ke aceh tapi belum kesampaian. btw ASTRA memang hebat ya dengan CSR nya banyak memberi manfaat untuk Indonesia
BalasHapusAyo segera main ke Aceh, akan banyak kenangan yg takkan terlupakan.
Hapuskayaknya enak ya buat dimakan tiramnya :D
BalasHapusTemen-temenku pada dimakan langsung loh koh, katanya enak, ada asin-asin gitu. aku sih gak berani hehe
HapusSubhanallah, luar biasa semangat ibu-ibu di Aceh sana ya. Terharu.
BalasHapusSubahanallah, semoga sehat terus mereka ini mba.
HapusBerkah dan hikmah dari Tsunami, buka mata jika kita ingin melihatnya.
BalasHapusSubhanallah, benar sekali.
HapusDari dulu pengen banget ke Aceh, adem pasti lihat kota dengan wanita yang berhijab semua.
BalasHapusInsyaallah adem mba.
HapusMirip kerang tapi versi besar ya hehe. Astra memang keren banget, gak nyangka sebesar ini sudah perkembangannya.
BalasHapusIya, Astra berpengaruh besar banget dalam perkembangan SDM di Indonesia.
HapusWah hebat yah inovasinya. Semoga para nelayan tiram semakin sejahtera
BalasHapussehat selalu para nelayan tiram
BalasHapus