Rabu, 23 Juli 2014

# BOOK # REVIEW

[Resensi] Novel Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye


Pondasi Cinta dalam Keterbatasan
Judul               : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : I, Januari 2012
Tebal               : 507 Halaman
ISBN               : 978-979-22-7913-9
Borno, begitulah Tere Liye menyebutkan nama sosok “Aku” dalam novel bergenre Kisah Cinta ini. Lahir dan besar di kota yang penuh dengan sejarah mistis, Pontianak. Dalam novel bersampul merah delima ini, jelas sekali penulis mendetailkan sejarah lahirnya nama Pontianak yang disahkan karena sejarah hantu Ponti, yang akhirnya diberi nama Pontianak. Percaya atau tidak, Kota Pontianak berasal dari nama hantu dalam bahasa Melayu, yang seramnya tak jauh beda dengan Kuntilanak. (Riwayat Pekerjaanku h. 17)

Borno, Si Pemuda Berhati Lurus. Begitu warga Sungai Kapuas menyebutnya. Sayangnya, perjalanan hidup Borno tak selurus apa yang warga sampirkan di namanya, Termasuk kisah cintanya. Adalah Mei, yang menjadi gadis pujaan hati Borno. Gadis perawakan Cina dengan wajah sendu menawan. Entah sejak kapan rasa suka itu tumbuh rimbun di pelupuk hati Borno, yang pasti sejak pertama kali tatapan Borno jatuh pada wajah sendu Mei saat menumpangi Sepit yang disupiri oleh Borno, itulah untuk pertama kalinya Borno menempatkan wajah perempuan di kepalanya selain Ibunya.
Sebagai seorang pria yang hanya tamatan SMA dan hanya supir Sepit pula, Borno tidak pernah merasa kekurangan dalam hidupnya. Sekalipun ayahnya telah pergi sejak ia kecil, Borno selalu merasa hidupnya telah lengkap, karena selalu ada Ibu, Andi si sahabat karib sejak ingusan, Pak Tua si pemberi petuah bijak, Bang Togar si abang paling bersahaja dan semua warga tercinta yang ada di Kota Pontianak. Dan tentunya bahagia itu semakin terasa sejak hadir Mei dalam hidup Borno.
Mei, penumpang spesial Sepitnya Borno ini merupakan guru SD di Yayasan Kota Pontianak, selalu naik Sepit urutan ketiga belas milik Borno, membuat seluruh supir Sepit sepanjang Sungai Kapuas sudah hapal kalau Borno selalu ingin berada di urutan tiga belas saat Mei datang untuk berangkat mengajar. Begitulah pertemuan dua muda-mudi ini saban pagi, pertemuan yang setiap pagi dinanti-nanti oleh Borno.
Di dalam novel dengan 37 episode ini, Tere Liye menyampaikan betapa murninya cinta pertama yang dirasakan Borno terhadap Mei. Gadis yang sejatinya menjadi awal segala keterbatasan hidup Borno. Dengan segala kenyataan yang ditulis Mei dalam secarik surat dalam Angpau Merah, Borno tidak pernah menyangka bahwa kenyataan pahit yang seharusnya ia ketahui sejak kecil baru ia ketahui ketika rasa-rasa terhadap Mei semakin ranum dan berbunga mekar. Bagaimanalah, ini cinta sejati. Apapun kenyataan pahitnya, tetap harus diteguk selayaknya gula termanis sejagad raya.
Dengan isi 507 halaman, penikmat novel romantis akan menemukan kenyataan-kenyataan bersahaja lewat petuah-petuah yang disampaikan oleh Pak Tua lewat percakapannya. Sebagai orang tua yang hidup sendiri, ia sudah menganggap Borno seperti anak kandungnya sendiri, yang setia mendengarkan cerita keluh kesah dan bahagia yang dirasakan Borno saban hari. “Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar muara. Air laut akan menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Itu siklus tak pernah berheni, begitu pula cinta.” (Petuah Cinta Ala Pak Tua h. 162)
Cinta adalah perbuatan.” Petuah inilah yang menjadi kekuatan Borno dalam meraih hati Mei. Dengan segala lika-liku kehidupan, keterbatasan, jarak, dan masa lalu yang kelam. Borno tetap bersikukuh untuk tetap mencintai satu hati sampai mati, sekalipun tertatih, Borno tidak peduli, ia tetap melakukan segala cara agar cinta itu ia raih.
Sekalipun Borno tidak pernah tahu apa yang menyebabkan Ayah Mei tidak suka Mei berteman padanya, Borno tidak patah arah, ia tetap gigih memperjuangkan perasaannya, sekalipun ia tahu diri bagaiamana status sosial dirinya dan Mei yang jauh bagai bumi dan langit. Borno akan tetap mengungkapkannya, meraih cinta pertamanya itu.
Dengan alur cerita yang dikemas sedemikian menegangkan, Tere Liye membawa pembaca berimajinasi sendiri tentang permasalahan apa yang sedang terjadi. Seperti rasa penasaran yang dirasakan Borno saat Mei tiba-tiba pergi meninggalkan Pontianak menuju Surabaya, tanpa alasan yang jelas dan hanya meninggalkan kata “maaf.” Dan membuat Borno hanya bisa bertanya-tanya pada langit, “Kenapa? Kenapa? Kenapa?”(Tetapi Kenapa? h. 400)
Di waktu yang tepat, di saat Borno berbulan-bulan menanti kehadiran Mei, di saat Mei tidak tahu lagi di mana rimbanya, hadirlah sosok Sarah yang sedikit banyak membuat hati Borno terkesima melihat wajah periangnya. Seorang dokter gigi yang dalam sejarah hidupnya ternyata memiliki peran penting dalam hidup Borno. Hei, jadilah kisah cinta ini semakin rumit.
Serumit apakah kisah cinta Borno? Sesungguhnya tidaklah rumit, karena cinta itu sederhana, ia tahu kemana ia akan bermuara, sekalipun badai menerjang. Ia akan tetap tinggal di mana seharusnya ia menetap. Jika cinta tidak serumit itu, bagaimana takdir mempertemukan Borno dan Mei? Apakah cinta pertama itu akan  berlabuh? Luluhkah hati ayah Mei diterpa pesona Borno yang telah bermetamorfosis menjadi pemilik bengkel ber-plang “Bengkel Borneo.”?(Montir Bengkel h. 176) dan apa sebenarnya isi dari Angpau Merah milik Mei? (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah h. 495) dan Sarah? Apa peran penting dia dalam hidup Borno?
Temukan sensasi cinta sejati dalam novel teromantis sejagad raya ini, novel yang tidak berbual dalam cinta, nyata dalam perbuatan. Karena cinta itu perbuatan, bukan bualan. Novel yang dikemas sedemikian rupa tidak menggurui betapa berpengalamannya Tere Liye dalam membingkai cinta. Kisah cinta ini sederhana, dalam segala keterbatasan, pondasi cinta di hati tetap kokoh berdiri, maka ambillah sarinya. Agar kisah cinta muda-mudi kita sesederhana cinta istimewanya Borno dan Mei.
Peresensi: Rezita Agnesia Siregar, Mahasiswa Jurusan Hukum Perdata Keluarga di IAIN Sumatera Utara

7 komentar:

  1. Belum pernah baca buku ini. Nunggu ada yang pinjamin aja. heeee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jomblo harus baca. Biar belajar nemu jodoh yg setia :p makasih uda mampir bg Nonk :)

      Hapus
    2. Tau aja si eneng abang jomblo. hahaa.

      Hapus
  2. Wah, sebenarnya kurang suka membeli buku Tere Liye. Banyak yang mengatakan bagus. Padahal saya juga pelahap buku sejati. Tapi hanya buku Tere Liye yang tidak sanggup saya beli. Memang tidak jelek sepertinya. Tapi buku Tere Liye pertama yang saya baca tidak membawa kesan baik.
    Semoga ada yang berbaik hati pinjemin saya buku Tere Liye lain. Atau mungkin Rezita-san mau pinjemin karya beliau yang ini. Hihihi.

    Resensinya baik. Hanya memang bukunya yang kurang ingin saya baca. Tapi resensinya rapih. Keep writing! <3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, benarkah? Buku apa yg membawa kesan prtama tdk baik milik penulis favorit saya ini? :) atau mungkin saya belum baca yg kamu maksud. Soalnya buku yg saya baca selalu luar biasa di mata saya.

      Terimakasih sudah mampir. Salam persahabatan, terimakasih pujiannya, semoga bisa lebih baik lgi :) keepblogging.

      Hapus
  3. wah aku suka banget karya2 bang tere.. apalagi pas habis ketemu dulu..
    dan untuk buku ini belum sempet beli aku.. biasalah masih bnyak kebutuhan untuk lebaran. hehehe
    dan resensi lo bikin gue kenyang :)
    terus berkarya ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah pernah ketemu? Sama dong, tp sayangnya bg Tere ini gk pernah mau diajak foto bareng. Bahkan ketika panitia acara mengajak pun ia enggan.

      Semoga lain waktu bisa menikmati langsung ya. Krna resensi hanya sebagian dri keajaiban buku ini. Sihyy. Terimakasih sudah mampir. Salam blogger medan, keepblogging :)

      Hapus