Pondasi
Cinta dalam Keterbatasan
Judul : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau
Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Januari 2012
Tebal : 507 Halaman
ISBN : 978-979-22-7913-9
Borno,
begitulah Tere Liye menyebutkan nama sosok “Aku” dalam novel bergenre Kisah
Cinta ini. Lahir dan besar di kota yang penuh dengan sejarah mistis, Pontianak.
Dalam novel bersampul merah delima ini, jelas sekali penulis mendetailkan sejarah
lahirnya nama Pontianak yang disahkan karena sejarah hantu Ponti, yang akhirnya
diberi nama Pontianak. Percaya atau tidak, Kota Pontianak berasal dari nama
hantu dalam bahasa Melayu, yang seramnya tak jauh beda dengan Kuntilanak.
(Riwayat Pekerjaanku h. 17)
Borno,
Si Pemuda Berhati Lurus. Begitu warga Sungai Kapuas menyebutnya. Sayangnya,
perjalanan hidup Borno tak selurus apa yang warga sampirkan di namanya, Termasuk
kisah cintanya. Adalah Mei, yang menjadi gadis pujaan hati Borno. Gadis perawakan
Cina dengan wajah sendu menawan. Entah sejak kapan rasa suka itu tumbuh rimbun
di pelupuk hati Borno, yang pasti sejak pertama kali tatapan Borno jatuh pada
wajah sendu Mei saat menumpangi Sepit yang disupiri oleh Borno, itulah untuk pertama
kalinya Borno menempatkan wajah perempuan di kepalanya selain Ibunya.
Sebagai
seorang pria yang hanya tamatan SMA dan hanya supir Sepit pula, Borno tidak
pernah merasa kekurangan dalam hidupnya. Sekalipun ayahnya telah pergi sejak ia
kecil, Borno selalu merasa hidupnya telah lengkap, karena selalu ada Ibu, Andi si
sahabat karib sejak ingusan, Pak Tua si pemberi petuah bijak, Bang Togar si abang
paling bersahaja dan semua warga tercinta yang ada di Kota Pontianak. Dan
tentunya bahagia itu semakin terasa sejak hadir Mei dalam hidup Borno.
Mei,
penumpang spesial Sepitnya Borno ini merupakan guru SD di Yayasan Kota
Pontianak, selalu naik Sepit urutan ketiga belas milik Borno, membuat seluruh
supir Sepit sepanjang Sungai Kapuas sudah hapal kalau Borno selalu ingin berada
di urutan tiga belas saat Mei datang untuk berangkat mengajar. Begitulah
pertemuan dua muda-mudi ini saban pagi, pertemuan yang setiap pagi
dinanti-nanti oleh Borno.
Di
dalam novel dengan 37 episode ini, Tere Liye menyampaikan betapa murninya cinta
pertama yang dirasakan Borno terhadap Mei. Gadis yang sejatinya menjadi awal
segala keterbatasan hidup Borno. Dengan segala kenyataan yang ditulis Mei dalam
secarik surat dalam Angpau Merah, Borno tidak pernah menyangka bahwa kenyataan
pahit yang seharusnya ia ketahui sejak kecil baru ia ketahui ketika rasa-rasa
terhadap Mei semakin ranum dan berbunga mekar. Bagaimanalah, ini cinta sejati.
Apapun kenyataan pahitnya, tetap harus diteguk selayaknya gula termanis sejagad
raya.
Dengan
isi 507 halaman, penikmat novel romantis akan menemukan kenyataan-kenyataan
bersahaja lewat petuah-petuah yang disampaikan oleh Pak Tua lewat percakapannya.
Sebagai orang tua yang hidup sendiri, ia sudah menganggap Borno seperti anak
kandungnya sendiri, yang setia mendengarkan cerita keluh kesah dan bahagia yang
dirasakan Borno saban hari. “Cinta sejati
tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar muara. Air laut akan
menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan
anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Itu
siklus tak pernah berheni, begitu pula cinta.” (Petuah Cinta Ala Pak Tua h.
162)
“Cinta adalah perbuatan.” Petuah inilah
yang menjadi kekuatan Borno dalam meraih hati Mei. Dengan segala lika-liku
kehidupan, keterbatasan, jarak, dan masa lalu yang kelam. Borno tetap
bersikukuh untuk tetap mencintai satu hati sampai mati, sekalipun tertatih,
Borno tidak peduli, ia tetap melakukan segala cara agar cinta itu ia raih.
Sekalipun
Borno tidak pernah tahu apa yang menyebabkan Ayah Mei tidak suka Mei berteman
padanya, Borno tidak patah arah, ia tetap gigih memperjuangkan perasaannya,
sekalipun ia tahu diri bagaiamana status sosial dirinya dan Mei yang jauh bagai
bumi dan langit. Borno akan tetap mengungkapkannya, meraih cinta pertamanya
itu.
Dengan
alur cerita yang dikemas sedemikian menegangkan, Tere Liye membawa pembaca
berimajinasi sendiri tentang permasalahan apa yang sedang terjadi. Seperti rasa
penasaran yang dirasakan Borno saat Mei tiba-tiba pergi meninggalkan Pontianak
menuju Surabaya, tanpa alasan yang jelas dan hanya meninggalkan kata “maaf.” Dan
membuat Borno hanya bisa bertanya-tanya pada langit, “Kenapa? Kenapa? Kenapa?”(Tetapi
Kenapa? h. 400)
Di
waktu yang tepat, di saat Borno berbulan-bulan menanti kehadiran Mei, di saat
Mei tidak tahu lagi di mana rimbanya, hadirlah sosok Sarah yang sedikit banyak
membuat hati Borno terkesima melihat wajah periangnya. Seorang dokter gigi yang
dalam sejarah hidupnya ternyata memiliki peran penting dalam hidup Borno. Hei,
jadilah kisah cinta ini semakin rumit.
Serumit
apakah kisah cinta Borno? Sesungguhnya tidaklah rumit, karena cinta itu
sederhana, ia tahu kemana ia akan bermuara, sekalipun badai menerjang. Ia akan
tetap tinggal di mana seharusnya ia menetap. Jika cinta tidak serumit itu,
bagaimana takdir mempertemukan Borno dan Mei? Apakah cinta pertama itu
akan berlabuh? Luluhkah hati ayah Mei
diterpa pesona Borno yang telah bermetamorfosis menjadi pemilik bengkel
ber-plang “Bengkel Borneo.”?(Montir Bengkel h. 176) dan apa sebenarnya isi dari
Angpau Merah milik Mei? (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah h. 495) dan Sarah?
Apa peran penting dia dalam hidup Borno?
Temukan
sensasi cinta sejati dalam novel teromantis sejagad raya ini, novel yang tidak
berbual dalam cinta, nyata dalam perbuatan. Karena cinta itu perbuatan, bukan
bualan. Novel yang dikemas sedemikian rupa tidak menggurui betapa
berpengalamannya Tere Liye dalam membingkai cinta. Kisah cinta ini sederhana, dalam
segala keterbatasan, pondasi cinta di hati tetap kokoh berdiri, maka ambillah
sarinya. Agar kisah cinta muda-mudi kita sesederhana cinta istimewanya Borno
dan Mei.
Peresensi:
Rezita Agnesia Siregar, Mahasiswa Jurusan Hukum Perdata Keluarga di IAIN
Sumatera Utara
Belum pernah baca buku ini. Nunggu ada yang pinjamin aja. heeee
BalasHapusJomblo harus baca. Biar belajar nemu jodoh yg setia :p makasih uda mampir bg Nonk :)
HapusTau aja si eneng abang jomblo. hahaa.
HapusWah, sebenarnya kurang suka membeli buku Tere Liye. Banyak yang mengatakan bagus. Padahal saya juga pelahap buku sejati. Tapi hanya buku Tere Liye yang tidak sanggup saya beli. Memang tidak jelek sepertinya. Tapi buku Tere Liye pertama yang saya baca tidak membawa kesan baik.
BalasHapusSemoga ada yang berbaik hati pinjemin saya buku Tere Liye lain. Atau mungkin Rezita-san mau pinjemin karya beliau yang ini. Hihihi.
Resensinya baik. Hanya memang bukunya yang kurang ingin saya baca. Tapi resensinya rapih. Keep writing! <3
Wah, benarkah? Buku apa yg membawa kesan prtama tdk baik milik penulis favorit saya ini? :) atau mungkin saya belum baca yg kamu maksud. Soalnya buku yg saya baca selalu luar biasa di mata saya.
HapusTerimakasih sudah mampir. Salam persahabatan, terimakasih pujiannya, semoga bisa lebih baik lgi :) keepblogging.
wah aku suka banget karya2 bang tere.. apalagi pas habis ketemu dulu..
BalasHapusdan untuk buku ini belum sempet beli aku.. biasalah masih bnyak kebutuhan untuk lebaran. hehehe
dan resensi lo bikin gue kenyang :)
terus berkarya ya :)
Wah pernah ketemu? Sama dong, tp sayangnya bg Tere ini gk pernah mau diajak foto bareng. Bahkan ketika panitia acara mengajak pun ia enggan.
HapusSemoga lain waktu bisa menikmati langsung ya. Krna resensi hanya sebagian dri keajaiban buku ini. Sihyy. Terimakasih sudah mampir. Salam blogger medan, keepblogging :)