Aku pernah mendapati seorang teman berkata bahwa
tak pernah hilang awan di pelataran langit, sekalipun malam. Hanya gelap yang
menutupinya, sejatinya ia tetap berada di tahtanya. Begitukah pelangi malam
hari? Benarkah warna-warni yang melingkari rembulan saban hari itu kita sebut
pelangi? Yang enggan pergi, sekalipun malam menjelang pagi.
Ada sesosok anak manusia di ujung sana,
bertemankan secangkir kopi pahit sepahit masa lalunya, juga sebatang dua batang
rokok yang entah kapan tak lagi temani ia. Setiap malam begitu, sendu sedan
meratapi rembulan, berharap sesosok wajah keluar dari pandangan, tersenyum
dengan canda tawa ringan.
Katanya pelangi selalu datang kala hujan reda,
lalu mengapa pelangi selalu hadir menimpali cahaya rembulan? Ataukah sebenarnya
rembulan tak seteduh itu, ataukah pelangi lah yang berperan penuh memantulkan
bias-bias warna-warni penyejuk hati. Oleh karenanya anak manusia itu tak henti
menanti senja berangsur pergi tergantikan malam yang sunyi?
Apa yang ia harapkan dari rembulan yang tak
kunjung kabarkan apa-apa? Hanya teronggok mati meratapi, tak pernah balas sapa
apa yang ia kata. Berjuta cerita terlontar tak jua berbalas kabar. Sesekali
bintang juga ikut menyapa, lewat kerlap-kerlipnya yang entah pertanda apa.
Baginya kerlip bintang paling terang adalah kabar baik dari rembulan yang
mencoba menjawab sapa, namun terendap nadanya di balik bias-bias pelangi yang
melingkarinya.
Sekian, selamat malam. Tidurlah tanpa separtikel
pun asap kau hisap. Bila tak juga mampu kau pejamkan matamu, teguklah kopi
pahitmu, jangan sisakan ampasnya. Agar larut juga ia dalam mimpi-mimpi buruk
yang kau ingin selalu ia pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar