Minggu, 12 Oktober 2014

Seminggu Mimpi yang Indah

Seperti senja ini, Seminggu yang lalu.
Ini bukan tentang Awan. Ini tentang Puisi yang aku temukan di antara rinai Hujan di pelataran Pantai. Aku mulai berfikir, apakah tulisan ini harus aku letakkan di label Cerita Cinta atau tidak. Entahlah. Yang pasti aku masih mengucek mata, mencubit sebagian dari kulit lenganku atau bahkan sesekali menampar pipiku, mimpikah aku seminggu ini? Kenapa terlihat begitu nyata. Seolah aku mampu menyentuh raganya, seolah aku merasakan hangat peluknya. Dan di imajiku, aku masih mengingat bisikan itu.

Yah, bisikan. Bisikan yang dengannya aku tidak ingin terbangun, bisikan yang dengannya aku selalu merasa terjaga sekalipun aku sadar bahwa aku tengah bermimpi. Bisikan yang dengannya aku mati-matian mencari redaksi kata untuk menjawab bisikan itu.
Kala itu, senja membawaku menari, berlari menghampiri puisi. Di antara deburan ombak dan rinai hujan yang berlawanan, aku mulai tertidur. Dan seketika mimpi itu dimulai. Harapan-harapan yang kian menjalar dan berkecambah membuatku terlelap sembari tersenyum. Bagaimana aku tahu kalau aku sedang tersenyum? Bukankah aku tengah terlelap? Tapi tanpa sadar aku menyadari bahwa ada sesuatu yang terjaga, melihatku dari sisi yang entah dimana bisa kujumpai.
Mimpi ini seperti mimpi di dalam mimpi, aku sulit mendefenisikannya. Di dalam mimpi aku menemukan sapa pagi yang menyeringai senyum tipis, sapaan yang tak pernah aku dapati sejak kejadian tragis yang membuat sebuah nama terukir indah di nisan hati. Haaa, aku merasakan kehidupan tengah berjalan di alam mimpi, setidaknya hanya untuk senyum sapa di pagi hari.
Alur cerita dimulai, aku fikir akulah yang menskenariokan kisahnya, aku yang membuat alur cerita terasa amat bahagia, karena ini mimpiku, aku yang membawa alur kemana hendak kubawa mimpi ini. Tapi heeii, siapa itu? Pemeran utama merusak semuanya. Iya, aku baru sadar bahwa pemeran utama yang aku indahkan laksana puisi penyejuk di pagi hari ternyata mempunyai skenarionya sendiri. Aku rasa dia juga tengah berlari menghampiri mimpi, agaknya dia salah menghampiri hingga merusak mimpi-mimpi semingguku ini.
Dari senja hingga purnama membundar, aku masih terlelap bersama mimpi-mimpi bahagia. Masih dengan dengan sapaan pagi yang menyenangkan, masih dengan skenario indah yang kami ciptakan. Hingga saat seminggu itu berlalu, saat fajar jelang meninggi, aku terbangun dan tersadar. Bahwa bukan aku atau si pemeran utama ini yang menskenariokan kisah di dalam mimpi ini. Yah, ada Zat yang berhendak di atas segalanya. Yang memberikan mimpi dan membangunkannya kembali.
Tapi ini bukan mimpi, ini nyata. Aku serius, ini nyata… sungguh pipiku sakit terkena tamparanku sendiri. Berarti ini nyata kan? Lalu apa guna mimpi itu seminggu bersemayam di mimpiku? Pun jika ini mimpi, lalu kenapa aku Engkau bagunkan? Aku baru saja menyiapkan redaksi kata untuk menjawab bisikan Sang Puisi. Baru saja.
Aku mencoba memejamkan mata, berharap mimpi itu datang lagi, sayangnya batas bahagia mimpi itu hanya seminggu. Yah, seminggu mimpi yang bahagia.
Aku tulis ini tepat saat fajar jelang meninggi, saat harapan mimpi baru mulai sirna.
Tapi adanya senyumku tetap sebab adamu J

12 Oktober 2014 Sejak 5 Oktober lalu..

8 komentar:

  1. Balasan
    1. Tumben komeeen, sekali komen cuma (y) pula ihh

      Hapus
  2. hibernasi tidur seminggu? :p
    kata-katanya puitis ya, aih

    BalasHapus
  3. Hai Sobat :D
    Kamu dapat Liebster award lho, cek disini ya http://adqkurnia.blogspot.com/2014/10/yaaayy-dapat-liebster-award.html ^^

    BalasHapus
  4. puisinya ditemukan di kompor rinai, keren nih, untungnya gak terbakar oleh lara hehehe

    keyen diksinya ini, slam kenal yaa

    susah buat seperti ini ajarin dong :(

    BalasHapus