Rabu, 10 April 2013

# FICTION # POEMS

Menunggu Pilihan Tuhan


Oleh: Rezita Agnesia Siregar
Siang semakin terik, panasnya terasa menusuk lapisan kulit terdalamku. Pelajaran komputer akan segera dimulai, meski aku dan teman-teman sekelasku tengah berada di laboraturium tetap saja panasnya semakin menjadi. Bagaimana tidak, sebab AC di ruangan ini tengah padam. Namun demi seuntai ilmu komputer, aku dan teman-temanku rela merasakan gerah. Di dalam ruangan ini hanya berisi komputer berkisar 20 unit, sedangkan murid ada 40 orang, jadi satu komputer dipakai oleh dua orang murid, aku bersanding dengan teman baikku, namanya Zia Ulfatimah. Kali ini guru komputer akan mengajarkan tentang Microsoft Excel. Setelah ibu guru menjelaskan beberapa menit lalu dilanjutkan dengan praktik. Setelah melakukan praktik menggunakan Microsoft Excel, ibu guru memberi sebuah tugas yang harus siap hari ini, hadiahnya bagi yang sudah siap menyelesaikan tugas boleh memainkan internet. Kala itu aku dan teman-teman belum terlalu paham dengan internet, sebab kami masih duduk di bangku kelas X aliyah, yang kami tahu hanyalah chating. Jadi setelah menyelesaikan tugas dari ibu guru aku dan temanku Zia,  mulai membuka internet, tujuannya mencari teman baru dari chating. Ribuan nama samaran terpampang di layar komputer, namun aku tetap menggunakan nama asliku, Rezita_Agnesia Siregar. Zia hanya menemaniku chating, Zia tidak terlalu suka mengobrol dengan orang yang tidak jelas asalnya. Baiklah, Aku dan Zia mulai memilih nama mana yang akan mulai kami ajak ngobrol, mataku tertuju pada sebuah nama 'cowok_tangguh'. Sepertinya menarik. Aku mulai mengetik satu kata 'hai' lalu enter, beberapa saat kemudian balasan datang, aku merasa nyambung mengobrol dengannya, setelah beberapa saat mengobrol dengannya, cowok yang mengaku tangguh tersebut mulai meminta nomor handphone-ku. Lalu kukatakan padanya agar dia saja yang memberikan nomor handphone-nya padaku, dia pun setuju. Bel pulang sekolah berbunyi, chating pun berakhir.

Tepat pukul 14.00 wib para murid berbondong-bondong keluar kelas. Aku masih berdiam berpangku tangan di atas mejaku, Zia mengajakku pulang bersama namun aku masih ingin sendiri di kelas. Aku seperti orang yang sedang menunggu sesuatu, ya benar. Aku menunggu kekasihku, kepalaku dipenuhi ribuan tanya, apa sebab dia berubah. Sudah tiga hari aku tak mengetahui sedikitpun kabar kekasihku, tak biasanya seperti ini, biasanya setiap pulang sekolah ia selalu menjemputku di depan pagar sekolahku. Bagai mimpi buruk bagiku, aku tak bisa menghubunginya karena nomor handphone-nya tak aktif. Semua teman-temannya pun tak ada yang tahu tentangnya, entah memang tidak menahu atau bahkan malah menutupi keberadaannya. Aku keluar kelas untuk menunggu kedatangannya. Aku berdiri di bahu jalan, aku melihat kanan dan kiri berharap dia datang atau bahkan hanya sekedar melewati sekolahku, tanpa terasa azan Ashar berkumandang, aku menyeru panggilan Allah, mataku mulai berkaca dan menetes kala aku mengedipkan mataku, aku tidak tahu apa sebab air mata ini jatuh membasahi pipiku, karena haru mendengar Azan atau karena aku kecewa. Sedari pukul 14.00 wib hingga azan mulai memanggil aku masih setia menahan diriku untuk tetap menunggu kehadirannya. Namun kenyataan memang tidak sedang berpihak padaku. Aku beranjak menuju masjid untuk terus memohon yang terbaik untuk dia yang aku cintai. Dalam sujudku tak henti memohon pada Allah agar aku dipertemukan dengannya meski hanya berpapasan di manapun itu, aku akan mensyukurinya. Namun Allah belum mengabulkannya. Aku yakin pasti ada saatnya.
Aku mulai bersahabat dengan air mata, bahkan untuk tersenyum pun aku lupa bagaimana caranya. Hari-hariku dihantui dengan bayang-bayangnya. Sampai pada akhirnya pembagian rapot semester tiba, aku tahu apa yang akan terjadi pada nilaiku, aku tahu semua penyebab nilaiku turun, bagaimanapun keadaannya dialah semangat hidupku. Bagaimana mungkin melewati hari-hari tanpa dia, begitulah kalimat yang setiap hari terbesit dibenakku. Tanpa penjelasan apapun tanpa tahu apa salahku, dia mungkin telah bahagia. Tak pernah terlintas di otakku untuk mendatangi rumahnya. Untuk apa lagi aku mengemis cinta yang tak ada lagi untukku. Baiklah aku akan mencoba menjalani hari-hariku tanpa dia, meski dulu tak ada satu kegiatan pun yang aku lalui tanpa dia, aku sudah terbiasa bersamanya, sulit bagiku untuk memulai hari yang baru, namun aku harus bisa.
Aku selalu mengotak-atik handphone-ku, membaca semua pesan masuk darinya, air mata pun enggan tertahan. Aku mulai kesepian dan gelisah sangat menyiksaku. Aku mengecek phonebook di handphone-ku, berharap ada seseorang yang bisa menghilangkan galauku. Aku menemukan sebuah nama 'cowok_tangguh' aku teringat dengan nama ini, yah, dia adalah teman chating-ku yang kemarin. Aku pun mengirim pesan padanya,
'hai cowok tangguh, ini nesya teman chatingmu yang kemarin, masih ingat?' send.
Tak beberapa lama, pesan baru masuk.
'oh, dari kemarin aku menunggu pesanmu loh, apa kabar?'.
Percakapanku dengannya berlangsung panjang. Aku merasa nyaman dengan pertemanan ini, meski aku belum pernah bertemu dengannya, aku merasa dia lelaki yang sangat baik. Dia sangat perhatian padaku, setiap hari dia selalu menelfonku, namun tetap saja aku belum bisa membuka hati, aku masih mencintai kekasihku, meski aku tahu pasti dia tak menganggapku lagi.
Galau belum pergi, kesedihan bertubi menghampiriku. Papaku harus dirawat di rumah sakit karena penyakit diabetes yang diderita telah berkomplikasi dengan paru-paru, yang menyebabkan papaku harus bernafas dengan bantuan tabung oksigen. Cowok tangguh yang memiliki nama asli Yusuf Gunawan itu semakin perhatian padaku, apalagi karena tahu keadaan papaku sedang sakit, lelaki yang kupanggil Awan ini menawarkan diri untuk menjenguk papaku di rumah sakit, sekalian bertemu denganku untuk pertama kalinya. Tentunya aku tak boleh menolak niat baiknya untuk menjenguk papaku, aku mengirim alamat rumah sakit papaku dirawat. Awan datang membawa buah-buahan serta dua batang cokelat untukku, kudapati sepucuk surat terselip diantara kedua cokelat tersebut
'Biarpun hanya cokelat,tapi mempunyai arti yang sangat dalam. Salam kenal gunawan ucapkan kepada nesya'.

Setelah membaca surat singkat tersebut, aku tersenyum. Setelah pertemuan itu, aku menganggap Awan adalah sahabatku, tidak lebih. Awan juga begitu, dia selalu cerita tentang wanita yang saat ini tengah ia cintai, sepertinya ia sangat serius, aku selalu memberi masukan-masukan agar ia berhasil mendapatkan wanitanya itu, meski sebenarnya nasihat itulah yang aku inginkan dari kekasihku dulu. Tiga bulan berlalu, aku masih berkabung di ruang kegalauan, entah bagaimana lagi agar aku bisa move on. Awan mengajakku untuk bertemu dengannya, ia katakan bahwa ia ingin curhat langsung padaku tanpa lewat telfon. Sebenarnya aku sedikit enggan, namun dia adalah sahabatku, dia selalu ada mendengarkan curhatku, mengapa aku tidak, akhirnya aku pun setuju untuk bertemu dengannya.
Hari rabu, tanggal 29 juli 2009. Aku dan awan bertemu di sebuah taman, awan mulai bercerita tentang wanita yang ia cinta, aku pun menjadi pendengar yang baik baginya, sampai suatu ketika dia bertanya padaku,
"Nesya tau gak siapa wanita yang selalu Awan ceritakan?" tanya awan lirih.
"Enggak, Awan kan gak pernah bilang, awan selalu bilang ntar bakal tahu sendiri, sampai sekarang Nesya gak tahu tuh, emangnya siapa wanita itu Wan?".
"Namanya Nesya". Bodohnya aku ketika itu aku tak mengira bahwa Nesya yang dimaksud awan adalah aku. Aku malah terkejut karena namanya sama denganku bukan terkejut karena ternyata wanita yang ia cintai adalah aku.
"Wah, namanya kok bisa sama ama Nesya ya?" kataku terkejut.
"Nesyanya itu kamu loh Nesya!" jawab Awan serius. Aku terdiam dan tak berani menatap awan, aku tak percaya hingga akhirnya seperti ini, aku belum bisa melupakan kekasih pertamaku dulu.
"Iya, makasih uda cinta sama aku." kataku lirih.

Beberapa saat aku dan Awan saling diam, aku mulai canggung dengan pertemuan ini. Di tengah keheningan Awan membuka suara dengan mulai menyanyikan sebuah lagu,
"Bila engkau menerima cintaku, aku akan setia kepadamu, karena dirimu yang selama ini kucari", kira-kira begitulah reffnya. Aku masih membisu, aku tidak tahu harus berkata apa.
"Kamu tahu kan gimana keadaan cintaku dulu, aku belum bisa move on, aku belum bisa melupakan dia." kataku cemas.
"Aku akan bantu kamu untuk melupakan dia, kamu harus keluar dari ruang kegalauan! sampai kapan kamu akan terus begini? Masa depanmu masih panjang, kita jalani saja dulu" kata Awan menyemangatiku. Aku pun diam dan mengangguk pelan.
Setahun perjalanan cintaku dengan Awan, aku masih saja mengenang kekasihku yang dulu, entah mengapa aku jadi begini, mungkin karena dia adalah kekasih pertamaku. Aku masih belum bisa memberikan perhatian sepenuhnya pada Awan, aku masih merasa biasa saja. Hingga suatu ketika aku menemukan kekasihku itu di sebuah jejaring social Facebook, kudapati ia tengah menjalin cinta dengan orang lain, sama sepertiku sekarang yang tengah menjalin hubungan dengan Awan. Sakit semakin menusukku, Ruang kegalauan semakin gelap kurasa, namun melihat dia tengah bahagia dengan wanita lain, aku tersadar bahwa aku harus bangkit dari keterpurukan ini, aku harus membuka hati untuk orang yang benar-benar mencintaiku, yang saat ini tengah menungguku mengatakan bahwa aku juga mencintainya. Aku menemui Awan, kusampaikan padanya bahwa aku juga mencintainya, dia tersenyum haru.
Setelah dua tahun berjalan, ada yang berubah dari perjalanan cinta ini, aku menyadari Awan sangat mencintaiku, karena cinta yang berlebih inilah yang membuatku menganggap keadaan ini berubah, Awan mulai posesif. Bukan posesif biasa, tapi ini luar biasa bahkan membuatku gerah. Aku nyaris tak pernah berpergian sendirian, Awan selalu ingin menemaniku, ia melarangku berteman dengan orang yang tidak ia senangi, hanya karena kecemburuannya, setiap hari ia melihat kotak masuk di handphone-ku, aku seperti terdakwa yang tengah di introgasi oleh hakim di pengadilan, aku gerah. Aku tahu ini semua karena Awan terlalu mencintaiku, tapi kurasa dia tak menaruh kepercayaan padaku.
Selama pacaran dengan Awan, aku mempunyai sahabat bernama Cholil Audad. Awalnya Awan tak begitu posesif mengetahui aku punya sahabat pria, lama-kelamaan awan semakin cemburu dengan semua perhatian dari sahabatku, sampai pada akhirnya awan menyuruhku menjauhi sahabatku Cholil dengan sejuta penjelasan menghantamku.
"Apa yang didapat dari dia? Perhatian? Gak cukupkah perhatian yang kuberikan? Dia itu suka sama kamu, makanya dia perhatian gitu, aku ini lelaki, aku tau gimana lelaki kalau suka pada wanita, kamu memang anggap dia sahabat, tapi dia pasti nganggap kamu lebih dari sahabat, jauhi dia!" kata Awan mendiktatorku. Berjuta-juta argumen aku layangkan padanya tetap saja ia tak terima aku bersahabat lagi dengan Cholil. Aku semakin tersudut, disatu sisi aku sadar dengan semua yang disampaikan Awan, semua itu benar.
Perjalanan berlanjut, ditengah emosi yang menerpa aku melawan semua aturan-aturan Awan, aku tak perduli dengan argumen dia yang mengatakan bahwa aku tak butuh orang lain lagi, sebab Awan akan berikan semua yang aku mau. Aku membantah, Awan pun membentakku dengan keras, aku terdiam, selama dua tahun sebelas bulan perjalanan cintaku dengannya, baru kali ini aku merasa sakit dibentak olehnya, aku merasa inilah sifat aslinya dia, aku tersedu dan aku tak mampu menahan air mataku. Saat itu juga Awan menyesali perbuatannya tadi dan meminta maaf padaku, aku masih terdiam bersama air mataku, Awan terus memohon dan ikut menangis bersamaku. Aku memutuskan untuk mengakhiri semua pasungan ini.
Setelah kejadian itu, aku menghubungi sahabatku, Cholil. Kukatakan padanya bahwa aku tak bersama Awan lagi. Dia mengiburku dengan perhatiannya, aku merasa nyaman dengan sahabatku ini, suasana ini kurasa berbeda. Sebulan berlalu aku merasa chemistry yang berbeda dari perhatian sahabatku ini. Lama-kelamaan Cholil menyatakan bahwa dia menyayangiku, aku pun tak dapat membohongi perasaanku, kalau ternyata aku juga menyayanginya. Akhirnya hubungan ini tak lagi bernama sahabat. Satu bulan hubunganku dengan Cholil, aku menunggu dia mengucapkan happy anniversarry padaku, namun ternyata dia tak seromantis Awan yang selalu merayakan setia bulan anniversarry. entah aku atau dia yang egois. Dan ternyata dia sama sekali tak menganggap hubungan ini istimewa. Yang membuat aku selalu marah pada Cholil, jika aku diam karena marah, dia juga diam tanpa menyelesaikan permasalahan atau mendinginkan suasana. Namun aku tetap saja sangat menyayanginya. Apa sebabnya? Itu yang selalu ditanyakan Awan padaku, kenapa aku bisa sangat menyayangi dia, padahal pengorbanan Awan lebih besar, bahkan Cholil nyaris tak ada berkorban untukku. Entahlah, aku pun tak dapat menjawabnya, yang aku tahu cinta tak pernah beralasan. Tanpa sebab, tanpa karena.
Siang itu, aku mencoba menghubungi Cholil sebab smsku tak dibalas-balas olehnya, dan ternyata nada yang kudengar adalah nomornya sedang sibuk, sedari tadi aku menunggu sms balasan ternyata dia tengah sibuk telponan dengan orang lain, rasa cemburu mulai menguak. Setelah ku telfon beberapa kali ternyata handphone-nya tak aktif lagi. Aku menunggu hingga malam tiba, nomornya belum aktif juga, aku semakin khawatir, pemikiran negatif semakin berkecamuk di kepalaku. Sampai keesokan harinya dia memberiku kabar bahwa semalam ia berada di tempat saudaranya, dan katanya tak ada sinyal. Aku marah padanya, karena semalan nomornya sibuk, ia tak mengiraukan perkataanku. Sejak kejadian kemarin Cholil berubah. Secepat inikah? Ia tak lagi perhatian padaku, semua perkataan bagai melawan penjajah, hingga amarah semakin memuncak, aku menawarkan pertanyaan yang harusnya tak kutanyakan.
"Kau kenapa sih? Kalo mau putus bilang aja!" kataku lewat sms.
"Terserah kaulah, aku capek pacaran kayak gini terus". Aku terbungkan membaca sms itu, seketika aku mengingat Awan, kalau aku bertengkar dengan Awan, ia selalu berkata lembut dan pada akhirnya selalu mengalah meski aku yang salah. Kali ini aku kembali meneteskan bulir air mataku, aku tak percaya dia akan mengatakan itu, setahuku dia yang salah karena tak memberiku kabar, kenapa jadi dia yang marah dan merasa capek dengan hubungan ini? ah apa-apaan ini. Seketika itu, aku menganggap hubungan ini telah berakhir, meski tak ada kalimat resmi yang mengatakan bahwa benar-benar telah berakhir.

Sejak itu aku kembali ke masa  dimana aku tersungkur di ruang kegalauan. Aku mulai enggan melakukan aktifitas apapun, aku tak mau makan, yang kulakukan hanyalah berdiam diri di kamar memainkan semua lagu galau dan menangis terisak-isak. Ini di luar dugaanku, di saat aku benar-benar tulus mencintai, ternyata aku menaruh hati yang salah. Disaat perasaanku biasa saja, namun ada seorang yang begitu mencintaiku hingga inilah yang dinamakan cinta buta. Beberapa minggu aku terus berdiam di kamarku dan berusaha menghabiskan air mataku, agar tak ada lagi kesempatanku untuk menangisi Cholil. Kenapa mudah bagimu melepaskan cinta yang kutanam begitu dalam, kenapa?
Aku memberi tahu perihal berakhirnya hubunganku dengan Cholil pada Awan, keadaan jadi berbalik seperti dulu. Awan terus menguatkanku, tak hentinya dia mengatakan, "Sudahlah hentikan airmatamu, jangan kamu buang untuk menangisi yang sia-sia". Benar, aku terlalu hebat untuk menangisi hal biasa.
Aku mulai menyibukkan diriku agar tak terbesit setitikpun tentang Cholil di fikiranku, kurasa ini adalah cara terampuh. Di sisi lain Awan masih terus berharap agar aku kembali menerima cintanya. Aku tahu Awan lelaki yang luar biasa, tak kan kutemukan dimanapun cinta sehebat cintanya Awan padaku, aku tersanjung. Namun karena sakit yang teramat perih kurasakan, aku jerah mencintai sebelum waktunya, aku akan menunggu cinta yang halal pilihan Tuhan, entah itu Awan atau bukan? mungkin iya. Tuhan akan memberikan jodoh yang baik kepada orang yang baik, itu janji Tuhan. Kan kutunggu hingga Tuhan yang memilihkannya untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar