Alarm
berdering nyaring tepat di samping telingaku, padahal sebenarnya tidak pun
menggunakan alarm handphone, suara gonggongan anjing di sebelah rumah sudah
cukup menjadi alarm yang pas untuk membangunkan semua rumah satu kampung. Dengan
suasana malam yang dingin dikarenakan domisili Sukadame yang berada di atas
gunung, kami bangun dengan bulu kuduk yang merindik, selain karena mendengar
gonggongan anjing yang saling bersahutan, juga karena angin yang berhembus
tanpa toleransi kehangatan sedikitpun.
Hanya
kami bertiga yang melaksanakan sahur, Karo tidak ikut karena beliau sudah tidak
sanggup untuk berpuasa karena umur yang sudah tua. Kami sengaja bangun sepupuh
menit sebelum imsak. Karena sahur yang terlalu cepat bisa menyebabkan kami akan
tidur kembali dan bisa saja sholat shubuh jadi terlewat karena ketiduran, itu
pun juga sudah menjadi sunah rasul, bahwa memperlama sahur itu lebih baik.
Bekal
sahur sudah kami siapkan sejak semalam sore, jadi tinggal dipanasin saja. Juga ditambah
lagi ikan nila pemberian tetangga, dua ekor ikan nila yang masih hidup
pemeberian Mak Jimmi yang tinggalnya tepat di sebelah kiri rumah karo. Untuk menghindari
ikan akan mati dan tidak bisa dimakan karena sudah menjadi bangkai, maka ikan
nila tersebut harus segera dipotong. Karena aku dan tari tidak bernyali untuk
membunuh ikan tersebut, maka kami menggunakan jasa Dani, sebagai satu-satunya
lelaki yang ada bersama kami.
Ikan Nila pemberian Mak Jimmi |
Usai
sahur, kami melaksanakan sholat shubuh berjamaah di rumah. Karena tidak
memungkinkan menempuh masjid yang letaknya lumayan jauh dalam keadaan gulita, dikarenakan
keadaan jalan tidak memiliki penerangan, dan pasti semua anjing sepanjang jalan
akan menyambut kami dengan suara yang nyaring senyaringnya.
Lalu
kami tidur kembali lepas shubuh dan bangun sekitar pukul delapan, setelah bangu
banyak pekerjaan yang menanti di depan mata, mulai dari mencuci baju, mencuci
piring, hingga menyapu rumah. Sebelum mandi, aku dan tari mencuci piring bekas
berbuka semalam dan piring ketika sahur tadi shubuh. Dan Dani menjalankan
tugasnya menyapu rumah dan menyapu pekarangan depan rumah. Dan ternyata si Dani
itu adalah calon tentara yang belum matang, alias tidak lulus. Mendengar cerita
Dani mengapa dia tidak lulus menjadi tentara dan menolak untuk membayar
sogokan, aku jadi semakin ragu pada keaslian angkatan di Indonesia ini. Dengan lagakya,
Dani cerita bahwa ketika sedang diadakan pemeriksaan kesehatan, dokter
menyatakan bahwa Dani terkena Ambeyen (Hahahah) dan Dani pun shock ketika itu,
padahal Dani tahu bahwa dia sangat sehat walafiat ketika itu. Lambat laun Dani
menyadari bahwa penyakit murahan itu hanya direkayasa agar Dani bersedia
membayar uang sogokan untuk pernyataan hasil dinyatakannya sehat. Berhubung dana
tidak mencukupi, akhirnya Dani lepas dari keinginannya untuk jadi seperti
ayahnya yang juga tentara. Dan akhirnya melanjutkan studynya sebagai mahasiswa
hukum di IAIN SU.
Cerita
punya cerita, inilah yang menyebabkan si Dani bisa saja mengerjaan pekerjaan
wanita, karena toh selama tiga bulan menjalankan tes sebagai tentara, Dani sudah
melakukan kegiatan apapun, termasuk menyapu rumah. Bahkan berlari hinga puluhan
kilometer sudah dijajahinya (*itu katanyaa :p)
si Dani membersihkan pekarangan rumah |
Selepas
semua pekerjaan itu, kamu bergegas pergi ke masjid untuk melaksanakn sholat
zuhur dan selanjutnya menjalankan program kerja tim safari ramadhan yaitu
melaksanakan belajar mengajar dengan anak-anak di desa seputar pelajaran Islam.
Dan miris sekali, setelah menunggu beberapa saat, hanya ada satu anak yang
bersedia untuk diajarkan. Padahal dalam ceramahnya semalam Dani sudah
menyampaikan pada ibu-ibu dan bapak-bapak untuk mengantarkan anak-anaknya
selepas zhuhur untuk mengajar tentang pengetahuan Islam.
fece to face dengan murid perdana |
Berhubung
hanya ada satu anak yang datang, itupun karena rumahnya tepat di belakang
masjid. Aku pun mulai mengajarkan seputar rukun Islam. Dan sekali lagi miris
sekali, anak seumuran Yogi belum mengetahui apa itu rukun Islam. Di sekolah
Yogi hanya mengajarjan dan memprioritaskan mengaji, bukan ilmu-ilmu yang
mendidik pola pikir anak untuk mengetahui dan mencintai Islam.
Selepas
itu, kami berinisiatif untuk berkeliling desa untuk menjemput para murid untuk
mau kami ajarkan. Namun, karena kami tidak mengetahui, rumah mana yang islam
dan mana yang non-muslim, kami mengajak Yogi sebagai penunjuk jalan.
Keliling kampung untuk cari murid bersama Yogi sebagai penunjuk jalan |
Bersama
si kecil Hamzah, kami berkeliling desa di tengah teriknya matahari, namun
begitupun tak megurungkan niat kami untuk terus mengemban dakwah. Karena kami
tahu mereka sangat membutuhkan ilmu tentang Islam walaupun sedikit. Setibanya di
rumah salah satu warga, kami mendengar pernyataan bahwa para anak-anak di desa
pergi membantu orangtuanya ke ladar selepas pulang sekolah, jadi kemungkinan
tidak ada waktu untuk belajar. Kalaupun ada, hanya selepas maghrib. Apa boleh
buat, itu sudah menjadi keseharian warga di desa tersebut, dan pola kerja
seperti itu tak baiknya kami rubah, itu karena mereka juga ingin melangsungkan
hidup.
Dan
kami pun kembali ke rumah dan akan mulai mengajarkan anak-anak selepas maghrib
saja. Setiba di rumah apalagi yang bisa kami kerjakan selain tidur. Toh tidurnya
orang puasa saja sudah mendapat pahal, bukan karena disengaja, ya karena untuk
hari ini belum ada anak yang ingin kami ajarkan, jadi ya langsung deh rebahkan
tubuh di atas ambal, masih mending aku dan tari tidur di atas ambal, kalau Dani
tidur di atas karpet, dan lagi-lagi seperti yang aku katakana di atas tadi,
Dani sudah terbiasa seperti itu, tidur di dalam air pun dsi Dani pernah (*katanya)
Kemudian,
tepat pukul empat sore hari, kami kembali bergegas pergi ke masjid untuk
melaksankan sholat ashar berjamaah. Dan masih dengan suasana yang sama, hanya
diimami oleh Dani, aku dan tari menjadi makmumnya.
Sebenarnya
ada hal yang lebih mirin selain tidak adanya penduduk yang datang ke masjid
untuk melakukan sholat berjamaah, di desa ini TIDAK ADA SIGNAL. Terasa seperti
benar-benar berada di hutan belantara, padahal di desa tersebut sudah masuk
jaringan listrik, dan kebanyakan warga juga sudah memiliki televise, namun
mungkin jaringan provider masih belum bersahabat, dan keadaan tidak ada signal
ini lebih parah dari gonggongan anjing setiap malam. Bagaimana tidak, mamaku
membangunkan aku untuk sahur pada pukul 04.00 WIB tapi smsnya masuk ketika
jelang buka puasa, para sekali, bahkan smsnya pun sudah tak lyak lagi dibalas. Bahkan
membuat rindu semakin menjadi-jadi pada mamaku.
Sepulang
sholat ashar kami mendapat kabar gembira. Karena Mak Nunun membawakan kami
beberapa potong ayam, ditambah lagi tempe (makanan langgananku di rumah nih)
juga terong yang merupakan makanan favoritnya tari. Jadi intinya kami makan
enak, Alhamdulillah. Lalu, si Dani kepingin makan kolak pisang karena melihat
banyak pisang di pekaranga rumah warga, maka kami memutuskan untuk memasak kolak
pisang, dengan harga Rp 5.000 satu sisir maka kami akan makan kolak piasang,
dan ternyata Mak Nunun juga membawa buah labu, akhirnya jadilah kolak pisang +
labu, Yummy,
Kolak pisang + labu untuk berbuka puasa ^^ |
Selepas
berbuka lampu padam, dan galau mulai melanda kami, pergi atau tidak ke masjid. Karena
kami tahu bahwa warga pati tidak ada yang datang untuk sholat tarawih. Hingga akhirnya
kami memutuskan untuk tetap pergi ke masjid, meski tanpa jamaah sekalipun,
karena niat hanyalah untuk beribadah. Dengan hanya tiga makmum pun jadilah. Dan
setibanya di masjid ternyata dugaan kami benar. Hanya ada aku, tari, Dani dan
mak Nunun. Karena jamaah tidak banyak maka tidak diadakan ceramah, padahal mala
mini adalah giliran aku untuk menyampaikan tausyiah. Lalu kami melaksanakan
sholat tarawih dengan tiga makmum yang diimami oleh Dani dan dan jugalah yang
menjad bilal dalam sholat tarawih.
Sebelum
sholat taarawih berarkhir desa dilanda hujan yang deras, hujan tak
hentik-hentinya menghujam dengan serangan petir yang menggelegar. Keadaan ini
tidak memungkinkan kami untuk kembali ke rumah, hingga akhirnya kami memutuskan
untuk neduh di masjid hingga, dan akhirnya ketiduran, ditambah lagi listrik
yang padam dan hujan yang sepertinya ganas sekali, kami tidur di atas ambal
masjid.
Terdengar
hujan mulai mereda dan listrik hidup kembali pada pukul 02.00 WIB, kami
memutuskan kembali ke rumah, dan lagi-lagi. Di tengah kesunyian malam dan
gulita tanpa pelita, anjing mengaup di setiap hentakan kaki kami, satu anjing
menggaum maka semua anjing akan bangun, terlihat betapa kompaknya anjing-anjing
tersebut, mereka sangat akur. Kami tidak bernyali untuk melihat ke kanan
ataupun kiri, aaaaarrggg menyeramkan sekali. Untungnya masih ada Mak Nunun yang
menemani kami, jika tidak kami tidak tahu kami akan jadi apa jika sudah sampai
di Medan.
Sesampainya
di rumah, kami masih memiliki dua jam tiga puluh menit lagi untuk menyambung
tidur, setidaknya sedikit menenangkan mata yang tadinya hanya tidur ayam di
dalam masjid. Dua jam cukuplah untuk tidur nyenyak, untungnya bekal sahur sudah
kami siapkan.
Bersambung...>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar