Jumat, 16 Oktober 2015

# BOOK # REVIEW

[Resensi] Novel Amelia, Serial Anak-Anak Mamak Buku-1 Karya Tere Liye

Menjadi Bungsu Yang Kuat, Bukan Bungsu Si Penunggu Rumah
Judul               : Amelia, Serial Anak-Anak Mamak Buku-1
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika
Cetakan           : I, Oktober 2013
Tebal               : vi, 392 Halaman
ISBN               : 978-602-8997-73-7
Amelia, si gadis bungsu yang kuat dan teguh hatinya. Terlahir menjadi anak bungsu, membuatnya tak terima dengan kenyataan, selalu ingin bertukar posisi dengan kakak sulungnya, Eliana. Baginya, menjadi bungsu hanyalah “korban” perintah-perintah kakaknya, selalu disuruh-suruh dan selalu menjadi “penunggu rumah”. Selain memiliki kakak sulung yang selalu ngatur-ngatur, Amelia juga memiliki dua kakak laki-laki yang tak kalah menyebalkannya dengan Eliana, saban hari meledek dan menjahili Amelia, Pukat dan Burlian namanya.
Di dalam novel Amelia, Serial Anak-Anak Mamak yang merupakan buku pertama namun terbit pada sesi terakhir ini, Tere Liye menjabarkan betapa tidak selamanya anak bungsu berperangai manja dan cengeng. Buktinya Amelia, terlahir dengan perangainya yang kuat, tidak pernah menyerah, sekalipun situasi menyadarkannya bahwa anak bungsu pada akhirnya akan tetap menjadi “penunggu rumah” dan sejauh apapun ia pergi, takdir akan membawanya kembali.

Saking inginnya bertukar posisi dengan Kakaknya, Eliana. Amelia ingin sekali dipanggil dengan sebutan Eli, yang dari penggalan namanya juga ditemukan nama Am-Eli-a (Si Tukang Ngatur-Ngatur, h. 1). Amel tidak akan pernah tahu bahwa sulit sekali untuk menjadi anak sulung, bersikeras tidak ingin menjadi anak bungsu, ngotot sekali bahwa menjadi anak sulung itu lebih menyenangkan, bisa ngatur-ngatur sesukanya, merintah ini merintah itu. Bahkan nasihat Bapaknya pun tak kunjung menyentuh keteguhannya akan bencinya ia menjadi anak bungsu “Menjadi anak nomor berapapun, sama saja Amel. Sama pentingnya, sama posisinya. Hanya berbeda tanggung jawab sesuai usia masing-masing.” (Aku Tidak Mau Jadi Anak Bungsu, h. 19)
Hingga akhirnya “keras kepala” Amel gugur bersama bukti yang ia saksikan sendiri, bahwa betapa sayangnya kakak sulungnya itu padanya, yang selama ini ia anggap sebagai si tukang ngatur-ngatur dan hanya bisa memarahinya setiap saat. Amel, begitulah seluruh isi kampung menyapanya, termasuk Eliana. Ia tersadar ketika satu kejadian benar-benar membuatnya terisak menyaksikan kakaknya rela jatuh tersungkur demi melindunginya di dalam hutan yang curam, Kak Eli yang menggendongnya sepanjang jalan setapak yang licin jatuh tersandung tunggul di hutan, Amelia tersadar bahwa kakak yang selama ini dia anggap tak pernah menyayanginya itu ternyata benar-benar menyayanginya, bukan melindunginya karena takut dimarahi mamak, terlebih karena memang menyayangi adik-adiknya. Itulah, itu tanggung jawab terbesar seorang kakak dan menjadi sulung itu bukanlah pekerjaan mudah (Panggil Aku “Eli”, h. 69). Kalau di Buku Eliana terdapat kisah mengharukan antara Eliana dengan Mamaknya, di episode ini Tere Liye juga menyentuh saya selaku peresensi yang memiliki posisi sebagai kakak dan terkadang pula dianggap “begitu” oleh adik-adik saya. Sungguh, Serial Anak-Anak Mamak ini membawa kita seakan berada di posisi tersebut, hanyut dan mengambil hikmah.
Kalau Eliana punya geng namanya Empat Buntal, Amelia bersama teman-temannya Maya, Tambusai, Cuck Noris, juga hampir memiliki nama geng. Karena empat sekawan ini adalah anak bungsu, maka mereka menamai geng mereka dengan Geng Anak Bungsu, namun sayangnya nama geng itu tidak kunjung dipakai. Percuma, ada atau tidaknya nama geng, empat sekawan ini akan tetap melakukan perubahan pada bibit kopi kampung mereka agar lebih subur dan produktif (Rencana-Rencana Besar, h. 305).
Kalau kalian ingin tahu bagaimana anak SD bisa ikut andil dalam Pertemuan Besar bersama tetua kampung dan mengusulkan rencana besar yang harus melibatkan persetujuan seluruh penduduk kampung, kalian harus baca bagaimana kuat dan teguhnya Amelia dalam menyampaikan rencana penyemaian bibit kopi kepada seluruh isi kampung di dalam novel 33 episode ini. Tidak peduli aral melintang, Amelia tetap bersikukuh untuk kehidupan kampung yang lebih makmur. Hei, anak sekecil Amelia saja sudah “repot” memikirkan kemakmuran kampung, apakah kita akan terus acuh?
Dalam kisah Amelia ini, Tere Liye menyampaikan pesan moral tentang keharusan anak manusia merantau dan menjelajah dunia untuk menuntut ilmu, sekalipun ia anak perempuan dan bungsu pula. Itulah yang dilakukan Amelia, sekalipun Kak Pukat dan Burlian selalu mengatakan bahwa Amelia akan tetap jadi penunggu rumah, tidak akan pernah kemana-mana, tetap tinggal di kampung halaman. Akhirnya Amelia tetap bisa membuktikan bahwa anak bungsu yang dulu selalu jadi “korban” perintah kakak-kakaknya bisa menyelesaikan gelar doktor dalam bidag Pedagogi, juga menyelesaikan studi dalam bidang Pertanian Kultur Jaringan, karena demi kampung tercintalah si bungsu Amelia mengambil jurusan tersebut, gigih sekali ingin kampung tercinta memiliki lahan kopi yang produktif. Bahkan Amelia sudah menyusul kak Pukat sampai ke Belanda.
Setelah merantau dan menuntut ilmu dalam bidang pertanian, apakah Amelia akan tetap menjadi “Penunggu Rumah” seperti yang selalu disampirkan di namanya? Apakah cita-cita Amelia sebenarnya? Apakah hanya ingin jadi petani di kampung mereka? Dan apakah usaha Amelia bersama teman-teman dalam mengajukan rencana besar untuk merubah bibit kopi yang produktif berhasil terlaksana? Wah banyak sekali pertanyaan yang saya lontarkan.
Kalau kalian tahu apa yang dilakukan Amelia setelah menuntut ilmu sampai negeri kincir angin, lalu mewujudkan cita-cita yang sedari awal tak pernah ia ketahui, dan ternyata cita-cita tersebut dekat sekali dengan kehidupannya. Apakah kalian akan menganggap Amelia si bungsu yang “bodoh”? atau si bungsu yang mulia? Maka kalian harus baca bukunya, temukan sensasi “riangnya” jadi anak bungsu. Dan baca juga serial kakak-kakaknya, Eliana, Pukat dan Burlian. Selalu ada hikmah di setiap lembar kisah mereka.

Peresensi: Rezita Agnesia Siregar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar