Menjadi
Bungsu Yang Kuat, Bukan Bungsu Si Penunggu Rumah
Judul : Amelia, Serial Anak-Anak Mamak
Buku-1
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Cetakan : I, Oktober 2013
Tebal : vi, 392 Halaman
ISBN : 978-602-8997-73-7
Amelia, si gadis bungsu yang kuat dan teguh hatinya. Terlahir menjadi
anak bungsu, membuatnya tak terima dengan kenyataan, selalu ingin bertukar
posisi dengan kakak sulungnya, Eliana. Baginya, menjadi bungsu hanyalah
“korban” perintah-perintah kakaknya, selalu disuruh-suruh dan selalu menjadi
“penunggu rumah”. Selain memiliki kakak sulung yang selalu ngatur-ngatur,
Amelia juga memiliki dua kakak laki-laki yang tak kalah menyebalkannya dengan
Eliana, saban hari meledek dan menjahili Amelia, Pukat dan Burlian namanya.
Di dalam novel Amelia, Serial Anak-Anak Mamak yang
merupakan buku pertama namun terbit pada sesi terakhir ini, Tere Liye
menjabarkan betapa tidak selamanya anak bungsu berperangai manja dan cengeng.
Buktinya Amelia, terlahir dengan perangainya yang kuat, tidak pernah menyerah,
sekalipun situasi menyadarkannya bahwa anak bungsu pada akhirnya akan tetap
menjadi “penunggu rumah” dan sejauh apapun ia pergi, takdir akan membawanya
kembali.
Saking inginnya bertukar posisi dengan Kakaknya,
Eliana. Amelia ingin sekali dipanggil dengan sebutan Eli, yang dari penggalan
namanya juga ditemukan nama Am-Eli-a (Si Tukang Ngatur-Ngatur, h. 1). Amel
tidak akan pernah tahu bahwa sulit sekali untuk menjadi anak sulung, bersikeras
tidak ingin menjadi anak bungsu, ngotot sekali bahwa menjadi anak sulung itu
lebih menyenangkan, bisa ngatur-ngatur sesukanya, merintah ini merintah itu.
Bahkan nasihat Bapaknya pun tak kunjung menyentuh keteguhannya akan bencinya ia
menjadi anak bungsu “Menjadi anak nomor berapapun, sama saja Amel. Sama
pentingnya, sama posisinya. Hanya berbeda tanggung jawab sesuai usia
masing-masing.” (Aku Tidak Mau Jadi Anak Bungsu, h. 19)
Hingga akhirnya “keras kepala” Amel gugur bersama
bukti yang ia saksikan sendiri, bahwa betapa sayangnya kakak sulungnya itu padanya,
yang selama ini ia anggap sebagai si tukang ngatur-ngatur dan hanya bisa
memarahinya setiap saat. Amel, begitulah seluruh isi kampung menyapanya,
termasuk Eliana. Ia tersadar ketika satu kejadian benar-benar membuatnya terisak
menyaksikan kakaknya rela jatuh tersungkur demi melindunginya di dalam hutan
yang curam, Kak Eli yang menggendongnya sepanjang jalan setapak yang licin
jatuh tersandung tunggul di hutan, Amelia tersadar bahwa kakak yang selama ini
dia anggap tak pernah menyayanginya itu ternyata benar-benar menyayanginya,
bukan melindunginya karena takut dimarahi mamak, terlebih karena memang
menyayangi adik-adiknya. Itulah, itu tanggung jawab terbesar seorang kakak dan
menjadi sulung itu bukanlah pekerjaan mudah (Panggil Aku “Eli”, h. 69). Kalau
di Buku Eliana terdapat kisah mengharukan antara Eliana dengan Mamaknya, di
episode ini Tere Liye juga menyentuh saya selaku peresensi yang memiliki posisi
sebagai kakak dan terkadang pula dianggap “begitu” oleh adik-adik saya.
Sungguh, Serial Anak-Anak Mamak ini membawa kita seakan berada di posisi
tersebut, hanyut dan mengambil hikmah.
Kalau Eliana punya geng namanya Empat Buntal, Amelia
bersama teman-temannya Maya, Tambusai, Cuck Noris, juga hampir memiliki nama
geng. Karena empat sekawan ini adalah anak bungsu, maka mereka menamai geng
mereka dengan Geng Anak Bungsu, namun sayangnya nama geng itu tidak kunjung
dipakai. Percuma, ada atau tidaknya nama geng, empat sekawan ini akan tetap
melakukan perubahan pada bibit kopi kampung mereka agar lebih subur dan
produktif (Rencana-Rencana Besar, h. 305).
Kalau kalian ingin tahu bagaimana anak SD bisa ikut
andil dalam Pertemuan Besar bersama tetua kampung dan mengusulkan rencana besar
yang harus melibatkan persetujuan seluruh penduduk kampung, kalian harus baca
bagaimana kuat dan teguhnya Amelia dalam menyampaikan rencana penyemaian bibit
kopi kepada seluruh isi kampung di dalam novel 33 episode ini. Tidak peduli
aral melintang, Amelia tetap bersikukuh untuk kehidupan kampung yang lebih
makmur. Hei, anak sekecil Amelia saja sudah “repot” memikirkan kemakmuran
kampung, apakah kita akan terus acuh?
Dalam kisah Amelia ini, Tere Liye menyampaikan pesan
moral tentang keharusan anak manusia merantau dan menjelajah dunia untuk
menuntut ilmu, sekalipun ia anak perempuan dan bungsu pula. Itulah yang
dilakukan Amelia, sekalipun Kak Pukat dan Burlian selalu mengatakan bahwa
Amelia akan tetap jadi penunggu rumah, tidak akan pernah kemana-mana, tetap
tinggal di kampung halaman. Akhirnya Amelia tetap bisa membuktikan bahwa anak
bungsu yang dulu selalu jadi “korban” perintah kakak-kakaknya bisa
menyelesaikan gelar doktor dalam bidag Pedagogi, juga menyelesaikan studi dalam
bidang Pertanian Kultur Jaringan, karena demi kampung tercintalah si bungsu Amelia
mengambil jurusan tersebut, gigih sekali ingin kampung tercinta memiliki lahan
kopi yang produktif. Bahkan Amelia sudah menyusul kak Pukat sampai ke Belanda.
Setelah merantau dan menuntut ilmu dalam bidang
pertanian, apakah Amelia akan tetap menjadi “Penunggu Rumah” seperti yang
selalu disampirkan di namanya? Apakah cita-cita Amelia sebenarnya? Apakah hanya
ingin jadi petani di kampung mereka? Dan apakah usaha Amelia bersama
teman-teman dalam mengajukan rencana besar untuk merubah bibit kopi yang produktif
berhasil terlaksana? Wah banyak sekali pertanyaan yang saya lontarkan.
Kalau kalian tahu apa yang dilakukan Amelia setelah
menuntut ilmu sampai negeri kincir angin, lalu mewujudkan cita-cita yang sedari
awal tak pernah ia ketahui, dan ternyata cita-cita tersebut dekat sekali dengan
kehidupannya. Apakah kalian akan menganggap Amelia si bungsu yang “bodoh”? atau
si bungsu yang mulia? Maka kalian harus baca bukunya, temukan sensasi
“riangnya” jadi anak bungsu. Dan baca juga serial kakak-kakaknya, Eliana, Pukat
dan Burlian. Selalu ada hikmah di setiap lembar kisah mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar