Namaku Agnesia, keluarga dan sahabat memanggilku
Ney, teman yang tidak akrab memanggilku Anes. Itulah kenapa aku selalu
membantah dipanggil Anes, rasanya sangat asing. Oleh karena itu aku lebih
senang disapa “Ney”. Aku menyukai fotografi dan suka menulis. Menyanyangi keluarga,
terutama Bapak.
Hari itu berlangsung begitu cepat,
hingga sore menjelang serasa mengedipkan mata saja. Aku yang biasa tidak betah
pulang ke rumah, kali itu aku ingin sekali bergegas pulang. Tidak tahu entah
sebab apa.
Aku terus mendesak teman kerjaku untuk
pulang, meski yang aku inginkan aku pulang duluan, tapi dia tetap ingin pulang
bersama. Sepanjang perjalanan aku merasa seperti takut kehilangan sesuatu.
Mungkin aku takut tidak akan kedapatan angkot malam itu. Seperti ketakutan pada
hari biasanya, aku gelisah saat mendapati angkot yang jalannya terlalu lama.
Di dalam angkot, aku duduk di samping
supir. Seperti biasanya juga, supir selalu mengajakku berbincang, entah sebab
apa wajahku selalu mengundang mereka untuk bertanya, “Marga apa kau dek?” tapi
tidak seperti biasanya, sore yang hampir gelap itu aku enggan sekali bercerita
seru. Aku hanya menjawab simpul dan menggangguk sesekali pertanda tidak ingin
ada perbincangan lebih.
Setiba turun dari angkot tersebut, aku
masih harus menyambung ke angkot lain. Suara azan sudah terdengar bersahutan,
langit terlihat mendung meski masih terlihat sedikit membiru. Entah kenapa
malam itu, angkot bersliweran datang, seperti ingin menjemputku sabagai
penumpang paling ditunggu.
Selang beberapa menit aku duduk di
angkot, langit seperti menyapa selamat malam. Menitikkan sedikit air seolah
peluh lelah seharian diterpa matahari. Pun angin bersahutan, menyiur-nyiurkan
malam semakin dingin. Debu-debu pun terlihat mengambang dari bias cahaya lampu sepeda
motor dan mobil yang membelah jalan.
Seperti aku yang malam itu tak sabar
untuk pulang, malam pun tak sabar pula mengucur air yang ia simpan sepanjang
hari yang panas. Menderas sedikit dan menyambutku seketika turun dari angkot.
Membuatku merasa air yang orang sebut hujan ini, ingin mengiri langkahku
pulang.
Setiba di pintu rumah, malam sudah sempurna
dingin. Seperti senyum Bapak malam itu yang menyeruak menyambutku di depan
pintu, di penghujung senja yang beku.
***
Aku teringat perbincangan seru aku dan
Bapak saat masa kuliah dulu.
“Pak, salam dulu. Ney mau pergi kuliah.”
“Kok banyak bawa plastik besar, isinya
apa itu?”
“Isinya keripik, Pak. Dijual di kampus. Mau
nabung beli kamera.”
“Kamera untuk apa?” Tanya bapak dengan
mengernyitkan keningnya yang licin.
“Kok perempuan motret, nulis lah kayak Bapak.”
“Loh, Bapak pernah nulis buku?”
“Pernah. Skripsi.” Dan kami pun tertawa.
Tapi, wajah Bapak seketika sendu,
menelisik isi plastik besar yang aku jinjing di lengan kananku.
“Apa kuat bawa bawaan sebanyak itu?”
“Kuat dong, ini gak lebih berat dari
beban hidup loh. Hehe”
Kemudian Bapak nyengir tipis. Usai
menyalami tangannya yang keriput, aku mencium keningnya yang melebar karena
rambut yang kian hari kian condong ke belakang. Aku ingin sekali setiap hari
mencium kening bapak seperti ini, sebab itulah yang dilakukan bapak saat aku
kecil dulu, sembari memberi receh untukku beli jajan bakwan di sekolah, seharga
500 perak diselingi saus cair yang entah terbuat dari apa.
Bapak tidak bisa menyembunyikan raut
sendunya setiap kali aku pamit saban pagi. Tapi saat kami berkumpul di rumah,
aku dan Bapak tidak banyak berkomunikasi, hanya sesekali Ia memanggilku ke
kamar untuk dipijitin tubuhnya yang ringkih. Takut-takut aku menyentuhnya,
terkadang ia menyeringai ngiluh karena ulah pijitanku. Yang berakhir dengan kalimat,
“Udah, udah. Makasih ya Nak-e.” dan aku pun berlalu.
Pernah suatu hari aku bertanya pada Bapak,
perihal biaya kuliahku yang sudah memasuki deadline
pembayaran. Bapak tidak memberi kepastian apapun, ia hanya mengalihkan cerita
bahwa abangku kuliah sudah memasuki semester akhir dan dua adikku baru memasuki
bangku kuliah dan juga SMA. Aku hanya mendengarkan dengan seksama, apalagi yang
hendak aku tagih? Kalau tanggungannya pun sudah melebihi gaji bulanannya.
Bapak yang sering kali melarangku
berjualan pun akhirnya luluh dan membiarkan aku berjualan, mungkin Ia pun
paham, aku juga harus mencukupi kebutuhanku sendiri. Aku yang tadinya berniat
berjualan untuk menabung membeli kamera impianku pun pupus, demi biaya kuliah dan
biaya lainnya.
Aku memutuskan untuk tidak lagi meminta
apapun pada orangtua, aku berdagang di kampus. Aku menjadi pembuat makalah
teman-teman yang “enggan” mengerjakan tugas pribadi. Aku rasa itu cukup untuk
biaya yang berkembang selama kuliah.
Beberapa bulan kemudian Bapak
ulangtahun, ia bercerita ingin sekali punya handphone.
Tapi rasanya tidak mungkin ia beli sendiri, mengingat biaya pendidikan Abang dan
Adikku semakin besar. Tapi Bapak sangat kesepian katanya, setiap hari sendirian
di rumah, tidak ada kawan bercerita. Mau pergi bertandang ke rumah sanak
saudara naik sepeda motor pun sudah tidak kuat
lagi. Sakit yang dideritanya membuat Ia semakin melemah. Ia ingin sekali
menelepon adik-adiknya di luar kota, setiap hari bercerita seperti kecil dulu
katanya.
Saat itu, aku tidak bisa menahan hujan
di mataku. Sebeginikah aku sebagai anak yang sibuk mencari uang sedang Bapak
tidak punya banyak waktu untuk bercengkerama dengan siapapun. Aku tidak punya banyak
pilihan, aku kuliah dari pagi dan lanjut berdagang hingga petang. Aku bertekad,
keingininan Bapak harus aku turutkan.
Kemudian aku berinisiatif untuk
mengambil sebagian uang yang sudah aku sisih untuk biaya kuliah. Aku tidak
peduli bagaimana dan akan menjadi apa aku bila telat membayar uang kuliah, yang
aku tahu saat itu Bapak sangat lebih butuh uangku daripada aku.
Saat ulangtahun, aku memberikan handphone untuk Bapak, guna keinginannya
menelpon adik-adiknya. Meski sebenarnya bisa saja meminjam handphone kami (aku dan abang adikku), tapi Ia enggan. Katanya ingin
punya handphone sendiri. Biar leluasa
tanpa meminjam-minjam, sebab kami terlalu sibuk untuk urusan di luar rumah.
“Loh kok Bapak dibelikkan hape, kan
katanya Ney mau beli kamera?” Tanya Bapak, ketika itu pagi sekali kubangunkan
Ia dari tidurnya.
“Gak apa, Pak. Masih bisa ditabung lagi
kok.”
Seksama kupandangi wajah Bapak yang
haru, matanya berkaca-kaca, bisa kudapati rautku di sana. Tapi Bapak tak kuasa
menyembunyikannya. Menunduk pilu seolah sibuk dengan handphone barunya.
“Kayak manalah mainkan hape ini, gak
ngerti Bapak.”
“Sini biar Ney ajarkan.” Kudekatkan
badanku ke Bapak.
Kemudian Bapak bergumam sembari
memencet-mencet tombol handphone baru
dengan menu-menu huruf paling besar yang tertera di pengaturan, “Kenapalah
sok-sok an pengen hape. Bisa pun enggak Bapak makeknya ini. Hehe”
Aku pun ikut tertawa lirih, bahagiaku
melihat senyum Bapak kala itu.
***
Aku memasuki pintu rumahku yang terbuka,
angin lirih pun terasa memasuki celah-celah jendela yang juga tidak dikunci.
Malam itu Bapak tersenyum, tapi tidak menjawab salamku. Bapak hanya diam dengan
mata yang sedikit tertutup. Posisinya berbaringg di sofa ruang tamu, matanya menghadap
langit-langit rumah. Nyenyak sekali tidur Bapak ditemani dinginnya malam yang
hujan, pikirku.
Tidak ada siapapun bersama Bapak, aku
berkali-kali memberi salam. Mamak ternyata ada di kamar mandi, suara kran air
yang deras membuatnya tidak mendengar salamku.
Aku menggoyang-goyangkan badan Bapak
yang lusuh. Tubuhnya sudah sangat kurus sekali, Ia tidak selera makan
akhir-akhir itu. Haus pun tidak. Tangan Bapak yang kupegang sudah dingin,
mungkin juga karena hari yang dingin
akibat hujan.
Aku terus menyapa Bapak, memanggilnya
berkali-kali lirih. Di balik telinganya aku bilang kalau aku pulang, “Pak di
luar hujan. Pindahlah ke kamar, nanti masuk angin.” Bisikku.
Tapi Ia nyenyak sekali. Mungkin siang
tadi tidak tidur. Lama aku terdiam memandanginya, hingga terbesit dipikiranku
sesuatu hal, Apa mungkin Ia lelah dengan sakitnya, hingga akhirnya ia menyerah?
Petir yang terdengar bersahut-sahuan seperti menjawab ketakutanku. Ketakutanku
yang seperti akan kehilangan sesuatu.
Dan ternyata benar, tidur panjangnya
membuat hujan berpindah ke mataku, pun petir menyeruak dari mulutku. Aku tak
kuasa menggelegar memanggilnya agar bangun, dan memaksanya menjawab salamku
yang berkali-kali aku ucapkan, atau sekedar bertanya tadi aku naik angkot apa.
Seperti yang biasa Ia tanyakan padaku.
Malam itu, sungguh malam penutupan yang
tidak pernah aku harapkan kedatangnnya. Keinginanku untuk cepat pulang
seharusnya aku turutkan. Aku percaya kala itu Bapak ingin sekali bercengkrama
denganku untuk yang terakhr kalinya.
“Pak, bangunlah. Biar Ney kusuk Bapak. Ney
gak akan kusuk kuat-kuat. Ney janji. Pakai minyak kayu putih atau minyak makan
campur bawang mau bapak? Jawablah Pak, biasanya Bapak tanyak Ney pulang naik
angkot apa, ngasih ongkos berapa, ditanyain apa-apa sama supirnya. Pak, mohonlah
aku. Bangun dan jawablah Ney, Pak.” Aku terus memaksa Bapak untuk bangun.
Dengan nada suara khas-ku yang selalu bisa membuat Bapak tertawa. Tapi Bapak
tetap diam. Tidak ada lagi tawa yang kuharapkan.
Tetangga yang mendengar petir dari
mulutku berdatangan, kusadari mereka mencoba menenangkanku. Untuk apa pikirku,
ketenanganku hanya itu, bercengkrama dengan Bapak. Kenapa aku disuruh diam?
Mereka bilang aku harus mengikhlaskan. Apa? Ikhlas Bapak tidur panjang dengan
tanpa siapapun di akhir senjanya?
Kenapa aku tidak diizinkan untuk
berdialog dengannya barang sejenak? Paling tidak, aku ingin bilang, kalau hari
itu aku ingin sekali lekas pulang. Ingin menyuapi Bapak makan. Hanya itu.
Mengapa Tuhan tidak mengizinkan?
***
Aku menjalani beberapa bulan setelah
tidur panjang Bapak dengan zona yang tidak mampu aku jelaskan dengan kata-kata.
Aku bahkan tidak peduli lagi dengan kamera, uang yang aku tabung bahkan tak
tahu harus aku buat apa. Untuk apa aku terobsesi pada itu semua? Bahagiaku
sudah berlalu bersama Bapak setelah ditimbuni tanah.
Aku ikhlas, siapa bilang aku tidak
ikhlas. Seseorang yang dikatakan ikhlas atas kepergian seseorang itu bukan
berarti ia tidak boleh menangis. Kehilangan akan reflex membuat seseorang
menghujani pipi dengan air mata. Rindu yang teramat sangat itu lumrah dialami
seorang anak terhadap bapaknya. Kenangan dan semua hal-hal yang dilalui bersama,
semua itu tidak akan pernah terlupa.
Pada suatu malam,
Sepulang kerja setelah berberes dan
menjelang tidur, Mamak menemuiku. Ada beberapa hal yang ingin Ia sampaikan
padaku. Aku menyambut dan mendengarkan Mamak dengan seksama.
“Ney uda ikhlas kan?” tanpa dijelaskan
perihal mengikhlaskan apa, pun aku sudah bisa menebak ke mana alurnya.
Aku mengangguk dengan hujan yang tak
bosan menderas di pipi. Pertanyaan itu membuatku memutar semua memori tentang
Bapak malam itu.
“Bapak bilang Ney harus jadi penulis
dulu, menulis skripsi maksudnya. Makanya tabungan ini belum dikasikan ke Ney.
Lama kali Mamak menyimpan ini. Bapak menyisihkannya setiap hari. Bapak gak bisa
melarang mimpi Ney untuk motret. Mamak tau itu bakat Ney. Bapak pun sangat
menyetujui itu. Maka ini, ambillah nak-e. Beli lah kamera yang Ney butuhkan.”
Aku terdiam meski hujan di mataku enggan
mereda, justru makin tak terkendali menghujani pipi.
Kali ini aku tidak bisa menahan, Bapak
yang dengan segala keterbatasannya dulu masih bisa memikirkan mimpiku. Masih
peduli dengan keinginan yang mungkin sudah aku lupakan. Aku hanya ingin
menjalani hari-hari dengan tanpa hujan mengikuti. Tapi Bapak, dia mementingkan
aku.
Oh Tuhan, damaikanlah Bapak dalam tidur
panjangnya.
Hari ini, aku memiliki kamera hasil jerih
payah Bapakku. Uang yang Ia titipkan lewat Mamak. Aku tambahi dengan uangku
hingga memenuhi untuk membeli kamera idamanku. Hari ini, dengan kamera ini aku
bisa hidup lebih baik, aku bisa melakukan pekerjaan seperti apa yang aku
impikan. Mewujudkan mimpi yang selama ini hampir aku kubur.
Pak, izinkan kini Ney mengadu sesuatu
padamu. Lihatlah putrimu yang kurus tinggi sepertimu ini. Kini Ney sudah bisa
motret orang menikah. Meski Ney perempuan, tapi Ridho Bapak membuat Ney bangkit.
Ney sudah hidup lebih baik dari kemarin. Ney sangat berterimakasih untuk
kesediaanmu menyisihkan uang hingga Ney bisa pergunakannya hari ini. Ney janji,
kebaikan Bapak akan Ney balas dengan kesuksesan di bidang ini. Tentu karena
ridhomu, Pak.
Salam rindu. Putrimu,
Ney.
Ney.
“Menabung itu bukan perkara untuk apa.
Kelak, tabungan kita akan bertemu dengan jodohnya. Entah untuk keperluan studi,
hobi atau bahkan keperluan menikahi kekasih hati. Maka menabunglah sejak dini.”
Cerita ini didukung oleh Bank Sumut
#AyokeBankSumut #BanknyaOrangSumut
Ya Alloh Mbak Ney, aku terharu. Aku ingat Ayahku yang sudah lebih dulu pergi saat aku duduk si bangku SMA. Yang kuat ya Mbak.
BalasHapusSemoga kita berdua tetap kuat ya. Aamiin.
HapusSo great story of Daddy. Aku sebagai lelaki yang gak mudah sedih jdi terenyuh baca ini. Jadi kangen orangtua di rumah. Anak rantau mah gini.
BalasHapusLangsung pulang gih, atau telfon sekedar tanya kabar. hehe.
HapusIni kisah yang inspiratif banget menurutku. Seorang ayah yang awalnya gak punya uang ternyata diam-diam mengumpulkan uang untuk anaknya. Semua ayah pasti punya kelebihan masing-masing yang buat anaknya sangat bangga pada ayah pasti nya ya. Semangat terus perempuan fotografer. Bapak kamu pasti bangga padamu, Ney.
BalasHapusAamiin semoga Bapak bangga di sana :)
HapusOrangtua pasti sangat ingin yang terbaik untuk anaknya, meski sebenarnya Ia ingin anaknya menjadi apa yang ia impikan. Semoga Allah dan Bapak meridhoi hobimu Mbak ya. Semangat.
BalasHapusIya bener banget, Orangtua pasti ingin yang terbaik. Aaamiin. Makasih Mbak.
Hapus“Menabung itu bukan perkara untuk apa. Kelak, tabungan kita akan bertemu dengan jodohnya. Entah untuk keperluan studi, hobi atau bahkan keperluan menikahi kekasih hati. Maka menabunglah sejak dini.” awesome quote. Selama ini nabung hanya untuk beli ini beli itu, jdi tabungan yang belum ada tujuannya sih belum ada. Kayaknya harus pakai cara ini deh, karena kita gak tau kan kedepannya kita bakal butuh apa. Semoga ketemu jodoh akunya, eh tabungannya xixii
BalasHapusHeheh yuk yuk nabung jodoh *loh* nabung bekal kebaikan biar jodoh datang dgn kebaikan pula *halah ceramah sok bijak wkwk*
HapusTulisan ini mengajarkan aku arti syukur, yang tidak pernah sama sekali mengalami kesulitan uang kuliah. Nice Share, Mbak Ney.
BalasHapusAlhamdulillah, selalu bersyukur ya mbak :)
HapusLain hal Papaku, ingin punya hp andorid biar bisa kayak teman-temannya. Hahah orangtua zaman sekarang canggihnya. Untungnya Ayah mbak gak minta beli hape krna mau facebookan.
BalasHapusDeskripsi penutupan senja yang sendu. Aku bacanya jadi terbawa suasana loh.
BalasHapusSampe dua kali komen yo mbak haha. Karena mengenang kejadiannya bener2 pakai perasaan jdi ya begitu deh. Hmm.
HapusMenulis dan Fotografi, paduan hobi yang klop itu.
BalasHapusIya, makanya aku ingin keduanya bersatu padu. sihiiy..
HapusFoto yang memegang tangan Bapak itu bikin saya teringat Ibu saya ketika itu juga sakit dan saya tidak henti memegang tangannya seraya membacakan doa. Dukungan anak memang akan terus menguatkan orangtua yang tengah sakit y ney. Semangat terus buat kamu.
BalasHapusPerjuangan org tua selama masih di dunia membuat kita terus semangat menjalani hidup. Insyaallah.
HapusDialog ini. Aku seperti berdialog dengan ayahku.
BalasHapusSetiap kita pasti memiliki dialog dengan org tua yang tidak akan bisa kita lupa.
HapusWah
BalasHapusayah pasti bangga anaknya juara.
selamat yh deq
Makasih kakakku, semoga :)
HapusLuarbiasa sekali sayang, Bapak akan bangga sama Ney, Day juga bangga ama Ney, Alhamdulillah tulisan ini juara. Terus berkarya ya sayang.
BalasHapusMakasih supportnya sayang.
HapusBapak pasti bangga disana dengan perjuangan anaknya
BalasHapusTetap semangat ya nesya
:)
Alhamdulillah, makasih kak ly :)
HapusBagus banget ceritanya, pantas jadi juara.
BalasHapusOh ya, salut sama bapak ya menyisihkan rupiah utk Ney beli kamera. Aku terbawa suasana baca tulisan ini
Sedihan bah, jadi kangen Bapak aku kak.
BalasHapus