Kalau kita kembali ke masa kecil, pasti kita
bisa hafal cita-cita apa yang kita dan teman-teman kita impikan. Mulai dari
cita-cinta ingin jadi dokter, polisi, tentara, pilot, guru hingga masinis
(ceila masinis :D). Tapi kali ini beda, setelah perkembangan zaman yang kian
entah sudah secanggih apa teknologinya, kini bila kita tanyakan pada anak-anak,
kian beragam jawabannya.
Seperti yang aku alami saat ini. Ceritanya, aku
pernah mengusulkan membuka ekskul wartawan cilik di sekolah tempat aku
berkerja, awalnya banyak sekali anak-anak yang berminat. Selang sebulan
akhirnya anak-anak lebih tertarik pada ekskul yang terlihat mentereng. Seperti
ekskul drum band atau menari, karena ekskul tersebut memerlukan keadaan latihan
di lapangan, meriah dengan musik-musik yang mengundang anak-anak yang
notabenenya suka dengan sesuatu yang menyenangkan. Beda halnya dengan wartawan
cilik yang hanya fokus dulu awal bulan pada teori. Pikirku, awal-awal belajar
aku memperkenalkan dulu bagaimana sistematika menjadi wartawan. Salahku,
akhirnya mereka jenuh. Dan finnaly, ekskul ini vakum.
Selang beberapa minggu, salah satu orang tua
murid mendatangiku, menanyakan perihal mengapa ekskul wartawan cilik vakum.
Padahal menurut pengakuan ibu ini, ia senang sekali ada ekskul tersebut, biar
lebih mengasah kemampuan anak dalam berpikir dan menulis. Katanya.
Setelah cerita-cerita ini itu, singkat cerita
ibu itu ingin anaknya tetap belajar nulis. Pikirku, enggak masalah kalau
muridnya hanya satu, asal mau. Toh gak rugi untukku, mengajarkan orang lain
menulis malah bisa mengasah kemauan kita untuk juga produktif dalam menulis.
Maka dari itu, aku putuskan untuk membuka kembali ekskul tersebut dengan
mengganti genrenya dari wartawan cilik menjadi kelas menulis. Karena memang
hanya fokus untuk menulis.
Namanya Fikrial Hafiz, kelas tiga SD. Hobi
sekali membaca buku, mungkin karena orang tuanya membiasakan Fikri jalan-jalan
ke toko buku, membiasakan fikri berimajinasi dalam dunia buku, makanya ia punya
hobi membaca yang gak banyak dimiliki oleh anak seusianya. Aku bangga dan
senang sekali punya murid ajar seperti Fikri. Anaknya memang pemalu, wajar sih.
Tapi dia mudah menangkap apa yang aku ajarkan.
Pertemuan kelas menulis sudah berjalan tiga materi.
Yaitu Cerpen, Berita dan Resensi. Pasti kalian mengira aku terlalu aneh memberikan
ia materi yang berat di usianya yang masih sangat muda. Tapi jangan salah,
materi-materi ini mudah ditangkap Fikri. Mungkin karena memang ia suka membaca,
maka pengetahuannya luas. Jadi saat aku memintanya mengerjakan tugas membuat
berita, cerpen atau resensi, hanya dengan sedikit pengarahan ia langsung paham.
Ada yang menarik dari pertemuan di kelas menulis
ini. Aku sempat bertanya apa cita-cita Fikri, ia menjawab ingin menjadi Penulis,
Pelukis dan Pemilik Cafe Coffe. Aku pun mulai menanyakan satu persatu alasan
dari tiga cita-citanya. Mulai dari mengapa ia ingin memiliki caffe coffe. Ia melihat
bahwa ayahnya suka sekali minum kopi, jadi ia ingin punya cafee coffe sendiri
biar ayahnya bisa minum kopi kapanpun ayahnya mau. So, anak laki-laki yang
keren bukan? Lalu aku tanyakan apakah ia bisa menggambar sampai ia ingin jadi pelukis,
Fikri menjawab iya. Ia menyukai gambar meme Japan. Menurutku suatu saat nanti
mungkin Fikti akan tumbuh menjadi komikus dengan cerita-cerita yang fantastis.
Yang terakhir sudah jelas mengapa ia ingin jadi penulis, karena ia suka baca,
maka ia ingin menulis apapun yang ia ingin tulis. Sunghuh, Fikri memang anak
yang pemalu dan pendiam. Tapi dia cepat tanggap dan keren dalam menulis.
Satu yang aku tekankan dari kelas menulis ini. Aku
hanya membimbing fikri menulis apa yang ingin dia tulis. Lalu mengajarkan dia
menyusun kalimat seperti kalimat apa yang enak dibaca. So, dengan begitu mudah
saja mengajarkan ia untuk jadi penulis. Sekalipun aku bukan penulis. Yeaah
seeyaaa di cerita selanjutnya gaeess.
Menulis lebih indah dan asik ketika didasari dengan hati.
BalasHapus