Bukan
mudah untuk menyemainya lagi, hariku sudah terbiasa untuk mengkerutkan kening,
menahan larikan bibir untuk menyungging senyum. Aku sudah terbiasa mendapat
sebutan perempuan “Jutek”, itu memang aku, meski terkadang aku harus menjadi
palsu di depanmu, untuk terlihat ramah, manis, anggun, cakep, entah lagi. Kurasa
anggunku sudah terbawa pergi olehnya, cinta gila itu. Namun kurasa juga, aku
menemukannya lagi dalam sosokmu, yang kudapati jauh sejauh-jauhnya dari pribadi
“Dia”. Agaknya anggunku datang lagi, kukira tidak akan lama.
Aku
masih mengingatnya, ingat sekali. Meski aku tidak menyimpan semua kalimat itu
seperti yang kau lakukan saban hari. Aku tidak menyimpan kalimat romantismu
dalam handphoneku, tidak sepertimu. Yang kau katakan bahwa kau menyimpan semua
kalimat yang aku kirim sejak kenal denganku hingga delapan belas hari dalam
periode dua ini, di handphonemu. Aku percaya itu. Aku ingat, “Aku takut kamu
diambil orang, atau aku takut kehilanganmu.” Ya.. kira-kira begitulah. Tapi,
sekarang, kau benar-benar membenarkan statement banyak wanita bahwa
lelaki hanya bisa bercakap-cakap besar dalam igauannya. Aku benar-benar harus
memaksa hatiku untuk mempercayai statement bodoh itu. Karena rasaku
mulai tumbuh.
Delapan
belas hari pertama, kudapati kau manis sekali. Kukira itu memang kewajibanmu
untuk menarik hati. Tapi bukan berarti setelah menarik kau harus mengulurkannya
lagi. Aku tau kau punya rasa yang sama, tapi tidak harus memakai alasana bahwa
kau seorang “Pemain Baru”. Cinta itu tidak mengenal pengalaman. Siapapun dia,
rasa itu bermain dalam ranahnya sendiri. Bukan diatur atau mengada-ngada. Kau katakan
bahwa kitalah yang harusnya mengatur cinta, bukan cinta yang mengatur kita. Pahamku,
kau sudah termakan dengan aturan-aturan bodoh itu, aturan bodoh yang mengatakan
bahwa “Kita masih punya banyak waktu, buat apa terburu-buru”. Bodoh sekali.
Delapan
belas hari dalam periode kedua ini, seperti tiga tahun aku dengan mantanku. Membosankan.
Raditya Dika bilang, kalau cinta itu ada kadaluarsanya, aku bersikeras untuk
membantah itu. Karena aku punya hati yang bisa aku pertahankan sampai mati. Tapi
kalau begini skenario kisah cintanya, aku harus berbuat apa????? Bayangkan, aku
kurang memahami apa? Diam itu benar-benar emas, emas sekali. Mahal.
Lalu,
dimana sastra yang kemarin kau jadikan alasan itu. Sudah matikah, atau
kadaluarsa? Lelaki itu memang begitu, payah. Terlalu mencari ribu-ribu alasan
manis untuk mencinta, mencipta skenario cinta untuk mendapatkan manisnya, manis
madu, gula aren atau gula pasir. Yang pasti lelaki itu suka sekali dengan yang
manis-manis, sedikit sekali yang mampu mempertahankan manis-manis yang sudah
tak manis lagi. Mungkin kadaluarsa. Ah, terlalu bodoh untuk mempertahankan ini.
Mungkin, hanya manis dalam dua kali delapan belas hari ini saja, cinta sudah
kadaluarsa. Sebegitu singkatkah masa berlaku “cintamu” ini??
Medan,
26 Juni 2013, sejak 09 Juni 2013
01.32
WIB
Dalam
Sunyi yang Menggila >,<
fiksi
BalasHapus