Malam minggu, aku tak berharap ada cerita indah malam ini, kurasa memang
semua hari sama saja tak ada yang istimewa atau yang mengistimewakan aku. Aku
melanjutkan aktifitasku menulis novel pertamaku bertajuk “Ada Cinta Dibalik
Awan”, aku memasuki lembaran ke 32. Aku mencoba memfokuskan diriku setelah baru
semenit yang lalu aku melihat secarik foto seorang pria yang selalu menginspirasiku,
inspirasi yang membuatku untuk terus bersemangat untuk menulis, aku selalu
mengingatnya setiap kali mendaratkan tangan di keyboard komputerku.
Mungkin aku yang terlalu fokus atau tulisanku yang membuatku bersemangat
untuk melanjutkannya hingga aku tak menyadari handponeku bergetar, loadspeaker komputer-ku berontak, menandakan
ada sinyal lain menghampirinya. Kuraih handponeku, kulihat dan kubaca
lekat-lekat telfon masuk di handponeku. Cholil Audad Memanggil, apa? apa aku
tidak salah baca? atau aku yang menelfon kali ya? beribu pertanyaan berkecamuk,
aku langsung mengangkat telfon tersebut.
Aku panik, sudah lama aku tidak mendengar igauannya. Dia masih sama
seperti dulu, nyebelin tapi ngangenin. manis sekali, membuatku sulit untuk
patuh pada komitmen yang aku buat sendiri, komitmen yang menyatakan untuk
benar-benar melupakannya. “mana ada cowok
yang enggak senang dengar suaramu” kira-kira begitulah igauannya, heyy, aku
tersipu, dalam jarak yang memisahkan aku dan dia, aku tersenyum bahagia.
Inspirasiku, lama tak mendengar igauanmu. Aku kira kau memang berniat
untuk berbincang denganku, ternyata hanya memastikan, aku memelas. Sebab ada
orang lain yang menelfonnya dan tidak bersuara, katanya. Ia beranggapan bahwa
itu adalah telfon dariku. Sudahlah, kukira aku hanya sebatas teman dikala ia
bosan, memang benar. Ia sedang dalam posisi menunggu, menunggu kapan akan
berlabu. Berlabu dari Batam ke Medan .
Meski begitu, aku tetap berbunga menerima telfon darinya, meskipun hanya
. 40 menit 6 detik, seandainya aku bisa merekam suara syahdunya, ah dayaku tak
ada. Tapi suaranya tidak hilang dari peredaran telinga, hati dan otakku. Gelak
tawa tak mampu aku elakkan, meski ia pun bukan sengaja untuk mengundangku
tertawa, terlebih karena aku yang terlalu riang menerima telfon darinya. ah,
apa sih hebatnya dia?
Tapi, kepribadian cuek dan selalu membuatku kesal memang tidak pernah
hilang dari sosok dirinya, di balik tawa yang ia hempaskan kepadaku, ia tutup
dengan perih kecil yang menusuk-nusuk relungku. Ia berterima kasih dan
memintaku untuk melupakannya. Padahal aku memang hampir melupakannya, setelah
aku ingin menghapus komitmenku untuk melupakannya, dia malah memintaku untuk
melupakannya. Kau memang sangat menyebalkan. Aku sangat membenciku, sangat……..
*aku bohong. Telfon terputus tanpa salam, tutt…tutt…Aku kembali terjebak di
zona andilau (antara dilemma dan galau).
23.31 Wib
Dalam Zona Andilau
Ketika Perasaan Tak Bisa Berbohong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar