Dia, senyawa yang kuberi nama cinta. senyawa yang mampu membuatku bertahan
bertahun-tahun menahan rasa. Rasa yang hampir tak terhitung jenisnya. manis,
asin, kecut, asam, pahit dan entah lagi.
Cintaku, sudah lama aku menaruh cinta padanya, sudah lama aku menaruh
sayang padanya, meski beribu kali kau menanyakan apa sebabnya, beribu kali juga
kukatakan aku tak mampu menjawabnya, aku tidak mampu memberi alasan, jangankan
kau, aku pun heran. Kau tahu? sejak empat tahun lalu, sejak rasamu yang kau katakan
hanya teman, aku pun begitu. Lambat laun entah aku yang salah mengartikan atau
kau salah memberi pengertian, aku menganggap ini lain, mungkin tidak dengan
engkau.
Hey, kau tahu tidak? telingaku telah kutulikan dari semua berita buruk
tentangmu, dari semua anggapan orang lain yang mencoba menjatuhkan rasaku
terhadapmu. Rasaku sudah kebal, belajar dari segala hari-hari yang mengecewakan
darimu, aku tidak pernah menidakkan tuduhan mereka tentangmu, tapi aku berusaha
untuk menepis, aku selalu berdiri disampingmu, meski hanya semu, aku akan
membuktikan bahwa perkataan mereka adalah salah.
Mereka bilang, aku sangat bodoh bila harus menunggu orang sepertimu, mereka
bilang aku terlalu indah bila harus menanti lebah hitam sepertimu, mereka bilang
kau ada untuk mempermainkan hatiku, mereka bilang kau hanya menganggapmu
sebagai teman sepi dan kebosananmu, mereka bilang kau hanaylah pemberi harapan
palsu, mereka bilang aku tak pantas untukmu. aarrgggghhh, aku ingin sekali manampar
dan merobek mulut merka.
Kau selalu bilang kalau Tuhan tahu segalanya tentang rasa yang kita
miliki. Yah, Tuhan pun tahu kalau aku sangat mencintaimu. Aku mencoba melawan
logikaku dengan intuisiku. mereka selalu berontak, dan rasa selalu menang,
meski terkadang logika mengajakku menangis untuk melihat kenyataan yang
disaksikan langsung oleh mataku. Sebenarnya apa yang aku harapkan dari pria
sepertimu? logikaku bermain, rasaku terdiam, tapi rasa tetap berjalan
mengerahkan anak buahnya untuk mengisi berbagai rasa di rasamu, meski terkadang
rasaku pulang dengan hampa, tak mengapa.
Lagi, mereka terus mengusikku, kali ini aku membenarkan perkataan mereka.
Lewat bukti-bukti yang kudapati lewat tatapku, aku menangis. Tapi rasa masih
saja teduh, mendambamu dalam ketabahannya. Inilah, rasa yang tak memiliki
alasan, hingga aku pun tak bisa memberi alasan bila akhirnya aku harus pergi
darimu, hingga akhirnya kaulah yang memintaku untuk pergi, pergi dengan semua
rasa yang seharusnya memang bukan untukmu. Ketahuilah, aku tidak pernah segila
ini, gila karena rasa yang aku miliki untukmu, kau tahu kan ? ada senyawa lain yang menggilaiku, tapi
aku tetap saja mengalihkannya lagi ke arahmu. Aku tidak jerah, karena cintaku
terhadapmu, aku menuruti apapun yang engkau mau, engkau inginkan aku PERGI.
Baiklah, terimakasih untuk segalanya, untuk sakit yang sesungguhnya bukan
karena ulahmu, semua sebabku, sebabku.
For: Cholil Audad
Di Tepian Kekecewaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar